LEBAK, BANPOS – Kebijakan efisiensi anggaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 menuai perdebatan. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo menyarankan penghematan pengeluaran melalui anggaran negara (APBN) yang lebih efisien. Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran tentang dampak negatifnya, termasuk kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor.
Presiden Prabowo menekankan pentingnya pengelolaan anggaran yang lebih bijak dengan fokus pada pengurangan pengeluaran yang tidak produktif. Ia juga mengharapkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk memprioritaskan efisiensi demi kesejahteraan rakyat. Namun, kebijakan ini mendapat kritik karena dianggap terlalu sempit dalam perspektifnya, hanya fokus pada penghematan anggaran tanpa memperhatikan dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat.
Ratu Nisya Yulianti, Wakil Bendahara Umum PB HMI, mengatakan kekhawatirannya terhadap visi Indonesia Emas yang tampak semakin jauh tercapai jika kebijakan yang diterapkan tidak memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas. Harapan akan kebijakan yang berpihak pada rakyat, menurutnya, kini tercoreng oleh kebijakan yang justru berpotensi merugikan banyak pihak, terutama di sektor tenaga kerja.
“Kebijakan efisiensi anggaran ini berdampak langsung pada sektor-sektor tertentu, seperti yang terlihat pada Pengurangan Tenaga Kerja (PHK) di lembaga penyiaran seperti RRI dan TVRI,” kata Ratu dalam keterangan yang diterima BANPOS pada Rabu (12/2).
Menurutnya, pengurangan tenaga kerja tersebut diklaim sebagai konsekuensi dari kebijakan efisiensi anggaran 2025. Para pekerja lepas, seperti kontributor, produser, dan music director, yang tidak memiliki status Aparatur Sipil Negara (ASN), menjadi kelompok yang paling terimbas.
E-Paper BANPOS Terbaru
Ia menerangkan, fenomena ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan generasi muda, yang merasa terabaikan oleh kebijakan yang tidak memberikan solusi nyata terhadap masalah pengangguran. Meskipun program “Makan Bergizi Gratis” ditawarkan sebagai bantuan, banyak yang merasa tidak cukup hanya dengan mendapatkan makanan di pagi atau siang hari, sementara mereka masih harus menghadapai masalah ekonomi yang tak kunjung selesai.