Baru-baru ini, Banten Pos mengangkat sebuah Indepth yang cukup membuat ‘gaduh’ sejumlah pihak di daerah maupun pusat. Running berita sampai saat ini masih terus berjalan. Pekan lalu, saya bertemu dengan salah satu pihak yang terkait dengan pemberitaan itu. Mereka minta supaya berita tidak perlu dilanjutkan, sambil diselipi marah-marah plus dalil agama.
Mereka suka sama Banten Pos, karena beritanya ‘nendang’. Tapi sialnya, yang diberitain itu mereka, jadilah marah-marah. Namun di akhir pertemuan, mereka malah mempercayakan sebuah isu yang cukup menarik untuk diulik. Katanya, mereka yakin kalau Banten Pos bisa menguliti isu tersebut sampai tuntas.
Realita itulah yang dihadapi oleh Banten Pos. Belum lagi ketika harus menghadapi pertanyaan ramai-ramai “Emang ada masalah apa sih Banten Pos dengan si anu, OPD itu, lembaga itu?”, jawabannya adalah: tidak ada.
Sebagai media yang profesional, Banten Pos berpegang teguh pada aturan-aturan yang berlaku seperti Kode Etik Jurnalistik, Undang-undang Pers serta pedoman-pedoman lainnya. Salah satu amanatnya ialah melakukan pengawasan atau kontrol sosial sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Hal itulah yang menjadikan Banten Pos terkadang galak, selalu kritis, dan dianggap idealis. Jadi bukan soal like and dislike seperti yang biasa muncul pada saat pelaksanaan rotasi dan mutasi pejabat, enggak.
Sebetulnya, saya sangat meyakini bahwa publik, khususnya para pejabat, memahami bahwa salah satu fungsi pers adalah kontrol sosial. Namun yang bikin jengkel adalah, fungsi itu seolah-olah tidak boleh berlaku kalau menyangkut persoalan mereka.
Saking jengkelnya, kami sampai-sampai membuat adagium sendiri: Gua seneng sama Banten Pos, asal jangan gua yang diberitain. Sementara imajinasi saya, membuat sebuah anekdot yang kisahnya ditutup dengan dialog logat khas Jaseng, ‘Ting buating, jangan gue yang diberitain’. (*)
Discussion about this post