“Ini malah sebaliknya. Proses persidangan ini gelap dan tidak transparan. Menurut kami hakim harusnya lebih aktif menilai bukti-bukti, in criminalibus probationes bedent esse luce clariores, dalam perkara pidana bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Saat pemeriksaan saksi korban, video yang menjadi alat bukti utama tidak bisa ditayangkan dengan alasan laptop tidak support. Bayangkan, bagaimana majelis hakim bisa menilai bukti-bukti persidangan?” tegasnya.
Keanehan-keanehan dalam proses hukum menurut Rizki, sudah dirasakan sejak awal. Misal, saat kuasa hukum meminta agar nama korban tidak ditampilkan dalam website SIPP, yang terjadi justru sebaliknya yakni pelaku yang disembunyikan namanya.
“Sidang kedua, rencananya tanggal 30 Mei 2023, namun diundur menjadi 6 Juni 2023. Setelah melihat nama korban muncul dalam aplikasi, kami juga bersurat kepada pengadilan agar nama korban tidak dimunculkan. Namun yang terjadi nama terdakwa yang hilang, nama korban masih muncul. Kok seolah-olah yang dilindungi privasinya adalah terdakwa, bukan korban yang jelas-jelas dirugikan jika data pribadinya tersebar,” ungkapnya heran.
Keluarga korban juga sempat mengeluh mengenai kondisi persidangan yang seperti dijelaskan kakak korban dalam cuitannya melalui Twitter. Oleh sebab itu, kuasa hukum akan mengirimkan laporan pada instansi terkait mengenai kejanggalan-kejanggalan tersebut.
“Menurut kami ini ada keanehan, deliknya adalah UU ITE persidangan terbuka. Namun saat pengacara dan keluarga korban hadir di persidangan, persidangan dinyatakan tertutup tanpa alasan yang jelas,” katanya.
Kakak korban, Iman Zanatul Haeri, mengatakan bahwa kejanggalan yang muncul selama proses persidangan membuat pihaknya mengambil keputusan, untuk membawa perkara tersebut ke khalayak publik.
Ia menuturkan, setelah berdiskusi panjang, kuasa hukum dan keluarga memutuskan untuk membuka kasus ini secara publik. Berharap dukungan dari masyarakat luas agar memantau proses peradilan yang dianggap banyak kejanggalan.
“Betul, itu keputusan kami. Pengacara sudah berusaha keras di dalam persidangan. Keluarga berharap dengan melapor ke posko PPA Kejaksaan, kami akan mendapatkan rekomendasi yang adil dan fair. Ternyata tidak, saya dimarahi karena lapor. Jika keadilan di PN Pandeglang tidak kami dapatkan, yasudah biar kita gelar kebenaran di twitter,” ungkapnya.
Discussion about this post