JAKARTA, BANPOS - Senayan memuji sikap Presiden Jokowi yang mengakui adanya 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu yang terjadi di Indonesia. Dengan itu, segenap Kementerian dan Lembaga terkait harus menindaklanjuti sikap tersebut secara nyata. Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan, dalam waktu dekat, pihaknya segera memanggil Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menindaklanjuti sikap Presiden tersebut. Pasalnya, implikasi dari sikap Presiden tidak akan sederhana. “Karena jika benar dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, perlu adanya pengadilan HAM. Kalaupun tidak, perlu diper¬timbangkan apakah bisa disele¬saikan dengan rekonsiliasi,” ujar Arteria dalam keterangannya, kemarin. Arteria berharap, semua Ke¬menterian dan Lembaga bekerja dalam satu rapat barisan dan semaksimal mungkin melakukan kerja optimal menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu. “Mudah-mudahan akan sikapi secara arif dan bijaksana,” harap politikus PDIP ini. Anggota Komisi III Rudy Mas’ud menambahkan, pernyataan Presiden yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, dapat diikuti dengan proses hukum dan se¬buah kebijakan strategis. “Dengan langkah konkret tersebut akan mengungkap para pelaku kejahatan, dan pemenu¬han hak-hak para korban melalui proses hukum yang transparan profesional dan akuntabel,” ujar Rudy dalam keterangannya, kemarin. Rudy menyarankan Pemerintah memberikan penjelasan obyektif terhadap analisis berbagai kasus HAM berat lainnya, selain 12 kasus tersebut kepada masyarakat. Juga, terdapat se¬buah kebijakan strategis agar penegakan HAM dapat terus dilakukan. “Sehingga pelanggaran HAM atau tragedi serupa tidak ter¬jadi kembali di masa yang akan datang, serta pengaturan mekanisme hukumnya yang komprehensif, transparan, dan akuntabel,” harap Politikus Golkar ini. Menurutnya, langkah Pemerintah menyelesaikan pelangga¬ran HAM berat di masa lalu akan menjadi perhatian masyarakat. Menurutnya, ini langkah maju Pemerintah untuk menegak¬kan dan mengakui HAM pasca lahirnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelangga¬ran HAM Berat masa lalu. Meski demikian, Rudy juga memperhatikan berbagai opini masyarakat atau elemen ma¬syarakat terhadap Pernyataan Presiden tersebut. Masyarakat menilainya secara beragam dari apresiasi hingga kritikan. Bah¬kan, beberapa dari opini tersebut menilai bahwa pernyataan terse¬but hanya bersifat politis karena belum jelas langkah hukum atau yudisial. “Kritik ini dinilai juga lahir dari ketidakpuasan para pihak dalam dari penyelesaian ter-hadap Kasus HAM berat yang sebelumnya telah diselesaikan seperti, Timor-Timur 1999, Tanjung Priok 1984, Abepura 2000,” jelasnya. Seperti diketahui, Presiden Jokowi menyatakan pengakuan sekaligus penyesalan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1). Rekomendasi pengakuan ini adalah hasil kerja Tim Penyele¬saian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) yang telah diserahkan kepada Men¬teri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta pada Kamis (29/12/2022). Terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Tri¬sakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Wasior 2001-2001, Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997/1998, Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung, Peristiwa 1965-1966. Kemudian, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, Peristiwa Simpang KKA Aceh, Peristiwa Jambu Keupok Aceh, Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998 Banyuwangi, Peris¬tiwa Rumoh Geudong 1989 di Aceh, dan Peristiwa Wamena 2003 di Papua-Papua Barat.(RMID)<!--nextpage-->
Discussion about this post