“AFPI sebagai asosiasi menaruh perhatian lebih terhadap fenomena ini, untuk menjaga kepercayaan para lender,” ujarnya.
Sebab, sambung Sunu, AFPI berkomitmen membangun industri fintech pendanaan yang kredibel untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pihaknya merancang strategi demi mengatasi bayang-bayang kredit macet dari beberapa penyelenggara.
“Saat ini kami sedang menganalisis lewat studi internal, apakah beberapa platform dengan kredit macet tinggi memiliki pengaruh terhadap industri secara keseluruhan, atau apakah ada efek pareto atau tidak,” tuturnya.
AFPI juga telah mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara satu dengan lainnya. FDC digunakan untuk menghindari terjadinya fraud, serta mencegah jumlah pinjaman berlebih.
Termasuk untuk mengetahui status kelancaran pinjaman saat ini dan kualitas pembayaran pada pinjaman sebelumnya. “Dengan demikian, AFPI dapat mengantisipasi kredit macet,” kata Sunu.
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, naiknya kredit macet di fintech sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang terjadi di perbankan.
Menurut Bhima, tantangan terbesar industri keuangan akan terjadi pada kuartal I-2023, karena Indonesia mulai memasuki tahun politik.
“Tahun politik bisa saja memberi dampak investasi terganggu. Karena banyak perusahaan yang mungkin wait and see dulu untuk mencairkan pinjamannya sambil melihat situasi politik,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Untuk menekan kredit macet, Bhima menyarankan kepada para perusahaan pinjol, agar lebih hati-hati. Yakni, hanya memberi pinjaman kepada calon nasabah yang mumpuni. Langkah ini untuk menjaga agar rasio kredit macet tidak meningkat.
“Sejumlah penilaian yang terus menjadi perhatian adalah keadaan keuangan calon peminjam, kelayakan serta validitas invoice dan riwayat kredit secara komprehensif,” imbaunya.
Menurutnya, bunga kredit yang tinggi juga bisa menjadi penyebab minimnya kemampuan bayar nasabah. Diakuinya, jika saat ini di Indonesia mengalami fenomena sulit turunnya bunga kredit, karena ada beberapa faktor. Salah satunya teori interest rate rigidity.
Discussion about this post