Sementara sumber BANPOS lainnya yang berasal dari Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, bukan hanya mempermasalahkan kenang-kenangan yang harus diberikan tatkala melaksanakan wisuda fakultas, namun juga proses menuju kelulusan yang harus merogoh kocek yang tidak sedikit.
“Kalau perkara print draf skripsi dan segala macem, itu mah bagian dari perjuangan kita untuk bisa lulus, jadi tidak masalah lah menurut saya. Cuma yang jadi permasalahan adalah ketika kita yang mau sidang, baik itu Seminar Proposal maupun sidang akhir, diwajibkan oleh jurusan untuk menyiapkan makan dan minum bagi para penguji serta staf-stafnya,” ujar dia.
Sejujurnya menurut dia, menyiapkan makan dan minum bagi para penguji bukanlah masalah yang besar. Karena mereka pun pasti menyiapkan sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih mereka kepada para penguji. Namun yang mereka sesalkan adalah ketika makanan dan minuman yang harus disediakan, sudah ditentukan oleh jurusan, dan memiliki nilai yang cukup berat di kantong mahasiswa.
“Memang bahasa yang digunakan oleh pihak jurusan itu ‘makanan yang layak’. Loh bagi saya pribadi, nasi uduk itu sangat layak, nasi padang Rp10 ribu itu juga sangat layak. Tapi ketika layaknya itu dipatok misalkan Hoka-hoka Bento dan makanan-makanan yang harganya lumayan bikin gigit jari mahasiswa, kenapa enggak sebut makanan yang mewah aja sekalian,” tegasnya.
Menurutnya, sejak awal dirinya berkuliah di Untirta, tentu sangat memahami jika biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit. Selain UKT, dirinya yang juga merupakan perantauan tentu saja harus memikirkan hidup sehari-hari. Namun yang ia tidak habis pikir, dirinya juga harus menyiapkan pos anggaran tak terduga, yang menurutnya sih tidak terlalu penting-penting amat.
“Sebagai alumni, tentunya kami ingin agar FISIP Untirta menghentikan tradisi seperti itu. Apapun alasannya, mahasiswa itu bukan kelas masyarakat yang sudah memiliki penghasilan. Kalaupun ada, itu juga tidak banyak. Lebih banyaknya mahasiswa itu tetap menggantungkan diri pada pemberian orang tua. Kalau orang tua yang berkecukupan, pasti mudah memberikan uang Rp50 ribu bahkan Rp100 ribu sekalipun. Tapi untuk mereka yang sehari-harinya harus mengencangkan ikat pinggang demi bisa print draf skripsi, bahkan Rp10 ribu pun bisa menyelamatkan hari-harinya,” tandas dia.(DZH/ENK)
Discussion about this post