“Dengan kata lain, ini strategi golden middle road yang selalu diambil Pemerintahan Jokowi, yang secara diam-diam dikagumi juga oleh berbagai institusi dunia, bagaimana Indonesia mengambil keputusan dengan cerdik, tanpa terburu-buru,” lanjut Prof. Ari Kuncoro.
Kembali ke Dr Mukhaer Pakkana. Wakil Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah ini mengatakan, tanpa mengurangi subsidi, Pemerintah memang akan menghadapi dilema yang berat. Asumsi pemerintah, jika subsidi bahan bakar minyak (BBM) dipertahankan seperti saat ini hingga Desember 2022, maka subsidi APBN 2022 akan mencapai lebih Rp 700 triliun, sementara alokasi subsidi hanya berkisar Rp 500 triliun. Sementara, jika subsidi dilepas atau harga BBM dan gas subsidi dinaikkan, pasti muncul spiral effect yang sangat liar. “Inflasi meroket, daya beli tergerus, kemiskinan bertambah, penggangguran melejit, dan seterusnya,” tegas Mukhaer Pakkana.
Untuk itu, selain menaikkan harga BBM, saran Mukhaer Pakkana, Pemerintah juga bisa menggunakan otoritasnya untuk memanfaatkan dana-dana devisa ekspor yang berasal dari windfall profit dari komoditas ekstraktif, seperti hasil ekspor batubara, CPO, nikel, dan lainnya.
“Windfall profit hasil komoditas ekstraktif ini diperkirakan jumlahnya melebihi angka Rp 500 triliun. Jangan sampai hasil devisa ekspor itu hanya diparkir di luar, terutama di negara-negara tax heaven. Di sini, Pemerintah harus tegas kepada pelaku eksportir itu,” tegas Mukhaer Pakkana.
Solusi ketiga yang bisa ditempuh Pemerintah, lanjut Mukhaer Pakkana, adalah dengan fleksibilitas kebijakan. Jika kondisi harga BBM dan gas global kembali pulih atau normal sesuai asumsi ABPN, maka harga BBM dan gas harus dikembalikan ke tingkat normal atau sesuai harga keekonomiannya. “Pemerintah bisa membuat klausul itu dalam kebijakan menaikkan harga BBM subsidi saat ini,” tutupnya. (RMID)
Discussion about this post