“Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan makin meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat,” kata Mulyanto saat melakukan interupsi pada Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, kemarin.
Anggota Komisi VII DPR ini mengatakan harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. oopSejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari 140 dolar AS per barel menjadi sebesar 90 dolar AS per barel. “Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna,” ucapnya.
Dia minta para menteri yang tak terkait dengan bidang energi stop bicara soal kenaikan harga BBM. Kata dia, omongan para menteri hanya bikin rakyat resah. Kata dia, isu kenaikan BBM sangat sensitif. Harus dikomunikasikan menteri kompeten dan yang berwenang agar tidak simpang siur.
“Mohon para menteri dapat menahan diri. Tidak usah bikin gaduh. Pasalnya ini membuat masyarakat resah di tengah tingginya harga bahan pangan sekarang ini,” pinta Mulyanto.
Lalu apa kata pengamat? Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, opsi menaikkan harga BBM saat ini bukan langkah yang tepat. Kenaikan harga Pertalite ke kisaran Rp 10 ribu misalnya, diprediksi akan membuat laju inflasi meloncat hingga 6,5 persen.
Dengan inflasi setinggi itu, kata dia, sudah pasti daya beli dan konsumsi masyarakat akan memburuk. Ujungnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen.
“Agar momentum pencapaian ekonomi itu tidak terganggu. Pemerintah sebaiknya jangan menaikkan harga Pertalite dan Solar pada tahun ini,” kata Fahmy, kemarin.
Kata dia, solusi terbaik saat ini adalah memaksimalkan pembatasan agar BBM bersubsidi tepat sasaran. Pasalnya, masih banyak penyelendupan BBM bersubsidi. (RMID)
Discussion about this post