Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Dari penurunan emisi tersebut, sesuai dengan Nationally Determined Contributions (NDC) sektor energi diharapkan dapat berkontribusi dalam menurunkan sebesar 314 Juta Ton CO2 pada 2030 melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta melakukan penerapan teknologi energi bersih.
Untuk jangka panjang, Kementerian ESDM menyusun roadmap transisi energi menuju Net Zero Emission pada 2060. Strategi utamanya melalui pengembangan EBT secara masif dengan fokus pada tenaga surya, hidro, panas bumi, serta hidrogen; Retirement PLTU secara bertahap, pemanfaatan teknologi rendah emisi seperti teknologi CCS/CCUS, serta pemanfaatan energi hidrogen dan nuklir.
“Sedangkan di sisi demand adalah pemanfaatan kompor listrik dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, di samping penerapan manajemen energi,” terang Arifin.
Pada jangka menengah, Kementerian ESDM menetapkan RUPTL PLN 2021-2030 dengan penambahan kapasitas EBT ditargetkan sebesar 20,9 GW atau 51,6 persen dari total pembangkit pada 2030. Sementara untuk jangka pendek, terdapat beberapa program. Yakni Pengembangan PLTS Atap dengan target 3,6 GW pada 2025; Program dedieselisasi, yaitu konversi PLTD ke Pembangkit EBT dan Gas sebesar 2 GW; Co-firing biomassa pada PLTU; dan pengembangan EBT off-grid bagi pemenuhan listrik di daerah 3T.
“Generasi muda adalah salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan kesadaran para pemuda terhadap energi bersih, lingkungan, dan perubahan iklim. Peran generasi milenial dalam pengembangan energi terbarukan atau energi hijau sangat dinantikan,” pungkasnya. (RMID)
Discussion about this post