SERANG, BANPOS – Klaim dari ahli waris Rasim bin Madhari atas kepemilikan tanah di Desa Rancaseneng yang tengah dibangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) oleh Pemprov Banten dibantah oleh Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat.
Pasalnya, tanah yang diklaim oleh ahli waris Rasim bin Madhari itu pada dasarnya merupakan tanah milik negara yang diambil alih oleh Rasim bin Madhari, dengan perjanjian ‘tukar guling’ dengan tiga bidang tanah milik Rasim. Namun, perjanjian itu batal karena tiga bidang tanah itu justru dijual oleh Rasim setelah dilakukan tukar guling.
Hal itu terungkap dalam audiensi yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Rancaseneng dan tokoh masyarakat setempat, dengan Dinas Perkim Provinsi Banten pada Rabu (22/6). Para aparat Desa dan tokoh masyarakat setempat mendatangi Dinas Perkim Provinsi Banten untuk menanyakan mengapa pembangunan RTH yang sudah 70 persen tersebut dihentikan.
“Dulu tanah itu sudah diganti rugi garapan karena itu statusnya tanah negara. Itu semenjak zaman belum terbentuknya desa Rancaseneng. Masyarakat iuran dengan bergotong royong mengganti rugi garapan kepada Almarhum Haji Rasim,” ujar mantan Kepala Desa Rancaseneng periode 1998-2007, Duriyat.
Pembayaran ganti rugi tersebut agar masyarakat dapat menggunakan tanah negara tersebut untuk kepentingan publik, setelah tanah itu diklaim sebagai tanah milik Rasim. Sengketa pun terjadi hingga akhirnya masuk ke meja hijau.
“Ternyata keputusan pengadilan itu adalah keputusan yang berdasarkan atas perdamaian atau dading,” katanya.
Isi dari perdamaian tersebut menurutnya, mewajibkan kepada Rasim untuk memberikan tiga bidang tanah kepada masyarakat, sehingga Rasim dapat menguasai tanah negara yang berbentuk lapangan tersebut.
“Masyarakat melalui Haji Pendi diberi tiga tempat lahan sebagai pengganti tanah lapangan yaitu tanah di depan pasar Rancaseneng, di belakangnya dan satu lagi di dekat lapangan. Kalau tiga tempat itu dikasihkan kepada masyarakat, maka tanah lapangan itu diberikan kepada Almarhum bapak Rasim,” ungkapnya.
Namun ternyata menurutnya, tiga bidang tanah yang diberikan, dijual lagi oleh Rasim kepada pihak lain. Dengan demikian, Rasim pun telah melanggar perjanjian damai yang telah disepakati di PN Pandeglang.
“Masa tanah pemberiannya diambil, lapangan punya masyarakat mau diambil juga? Kan secara otomatis tidak begitu. Yang namanya tukar-tukaran kalau yang salah satunya sudah diambil, maka sah tidak itu tukar gulingnya? Kan enggak sah,” tegasnya.
Ia menuturkan, dalam amar putusan pun dengan jelas menyebutkan bahwa pengadilan menolak semua gugatan. Sedangkan gugatan yang keputusannya diterima ialah dengan dilakukannya perdamaian di luar pengadilan.
Ia pun mengaku heran dengan salah satu ahli waris dari Rasim yakni Artim. Padahal dirinya sempat menjabat sebagai Kepala Desa Rancaseneng, namun mengapa permasalahan tanah itu tidak diselesaikan di masa kepemimpinannya.
“Maka saya mengklaim bahwa tanah itu tanah milik warga Rancaseneng. Selanjutnya, Haji Artim itu mantan kepala Desa Rancaseneng, kok kenapa pada zaman dia tidak diklaim atau tidak diurus bahwa itu tanah milik keluarganya,” ungkapnya.
Kepala Desa Rancaseneng, Kastiri, mengatakan bahwa pembangunan RTH di desanya itu sudah diusulkan oleh dirinya sejak 2019. Akan tetapi, pembangunan sempat terhambat akibat adanya Covid-19.
“Berhubung 2020-2021 gagal karena covid, alhamdulillah tahun ini terealisasi. Sampai pada akhirnya ada kejadian seperti ini, saya juga kaget,” ujarnya.
Kastiri pun mengaku heran dengan klaim yang dilakukan oleh ahli waris Rasim ketika Pemprov Banten melakukan pembangunan di atas tanah tersebut. Pasalnya, sebelumnya pun dirinya telah membangun beberapa kali di atas tanah tersebut menggunakan anggaran Dana Desa.
“Waktu masa jabatan periode pertama, saya membangun berapa kali di lahan itu dengan anggaran Dana Desa. Apa ada gejolak? Apa ada protes? Tidak ada. Dari mulai pengurugan, bikin lapangan voli, jogging trek, Alhamdulillah nggak ada yang namanya protes, gugat apalagi minta ganti rugi,” jelasnya.
Ia mengaku tidak tahu motif apa di balik protes yang dilakukan oleh ahli waris Rasim. Sebab ia baru menghadapi persoalan klaim tanah itu setelah Pemprov turun tangan ingin memaksimalkan pembangunan yang sebelumnya sudah ia lakukan menggunakan Dana Desa.
“Dari tahun 2015 sampai tahun 2021 saya sudah melakukan tiga kali pembangunan dengan anggaran dari Dana Desa di lokasi lapangan itu, tapi tidak ada konflik gugatan dan hal-hal aneh. Saya enggak mengerti alasannya apa. Saya bingung kok pembangunan ini tiba-tiba disetop, padahal ini saya yang mengajukan. Saya sudah meyakinkan bahwa tanah itu bukan tanah sengketa dan tidak bermasalah,” tandasnya.(DZH/PBN)
Discussion about this post