“Usul ini bisa jadi pilihan. Tapi, jangan digoreng atau pun dijadikan inspirasi untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Karena kita kan suka menghubung-hubungkan,” jelasnya.
Sekalipun begitu, lanjut Titi, untuk bisa mewujudkan hal ini, dibutuhkan perubahan terbatas dalam UU Pilkada. Kalaupun amandemen terbatas tidak bisa dilakukan, harapan lainnya adalah pada putusan Mahkamah Konstitusi. “Nah kita tunggu. Yang bisa mengubah norma dalam UU, yakni MK. Kita tunggu proses pengujiannya, apakah ada desain yang berbeda atau tidak,” tandasnya.
Sementara Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyampaikan, berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2018 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara, pengangkatan Pj dari ASN memang bisa dilakukan, bila terjadi kekosongan kepala daerah. Tapi, pengangkatan itu hanya berlaku bila kepala daerah cuti di luar tanggungan negara, misalnya mengikuti kampanye.
“Sementara kini ada fenomena ketiadaan pilkada di 2022 dan 2023,” jelasnya.
Kekosongan pilkada ini, menurut Djohermansyah, mengindikasikan bahwa Permendagri No. 1 Tahun 2018 sebetulnya sudah tak lagi relevan dan memadai. Apalagi, masa jabatan kepala daerah karena keperluan Pilkada 2024, juga akan cukup panjang dibanding sebelumnya.
E-Paper BANPOS Terbaru
Diketahui, sebanyak enam pemohon dari berbagai latar domisili berbeda mengajukan gugatan atau uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), atas UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti UU, Nomor 1 tahun 2014, tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU Pilkada.
Dalam salah satu petitumnya, mereka meminta agar masa jabatan kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023 dapat diperpanjang. [SSL]