“Menurut saya ini aneh, karena dari dua orang ini, siapa yang akan menikahi? Atas dasar apa dia yang harus menikahi? Keduanya kan sama-sama pelaku. Tidak mungkin keduanya menikahi korban. Artinya, kalau hanya satu orang yang akan menikahi, mengapa pelaku lainnya dibebaskan. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.
Selain itu menurutnya, secara aturan Islam pun dilarang untuk menikahi wanita yang tengah hamil di luar pernikahan. Sebab, hal itu akan terjadi bias nasab, meskipun jika sudah jelas siapa ayah kandungnya tetap tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah.
“Apalagi berdasarkan informasi yang perwakilan kami dapatkan pada saat turun ke lapangan, ternyata pernikahan korban dengan pelaku tidak dihadiri oleh Wali dari korban. Jelas ini merupakan bentuk permainan terhadap agama dan hukum,” ungkapnya.
Pernikahan yang terjadi antara korban dan salah satu pelaku pun dikhawatirkan oleh pihaknya, malah menambah permasalahan yang dialami korban. Sebab, bisa saja korban mengalami trauma terhadap pelaku, dan dipaksa untuk tinggal serumah dengan ikatan pernikahan yang ia anggap sebagai paksaan.
“Kalau dinikahkan, apa enggak ada ketakutan bahwa si korban malah akan tersiksa lahiriah dan batiniyah. Justru korban akan tertekan dinikahkan dengan salah satu pelaku, karna korban dinikahkan bukan dengan orang yang dia sukai, justru yang dia benci saat ini,” ucapnya.
Maka dari itu, ia pun mendesak agar negara, khususnya Pemerintah Kota Serang, untuk turun tangan mengambil alih hak asuh korban, dan dijadikan sebagai tanggungan negara. Karena, pihak keluarga korban pun sangat sulit untuk dipercaya, mengingat salah satu pelaku merupakan paman korban, dan yang mewakili korban merupakan bibi dari korban yang diduga istri pelaku.
“Korban ini tengah hamil enam bulan. Ini seharusnya menjadi tanggungan negara, agar dirawat oleh Pemerintah Kota Serang karena pihak keluarga pun tidak bisa menjaganya. Supaya korban memiliki rasa aman dan kenyamanan pada dirinya, sebagai proses pemulihan atas kejadian itu,” ungkapnya.
Discussion about this post