“Saya lihat buruh sepertinya dibiarkan masuk ke dalam ruang kerja gubernur. Saya lihat ada petugas polisi dan Pamdal, tapi mereka diam saja,” kata seorang pengunjuk rasa, Sri.
Karena sadar yang dicari tak ada di ruangannya, para buruh kemudian kembali ke lokasi aksi. Mereka bergabung dengan buruh lain yang melanjutkan aksi di tempat itu.
Setelah para buruh keluar dari ruangan Gubernur, sekitar pukul 21:00 WIB, sebenarnya Pemprov Banten mengutus kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Banten Al Hamidi untuk menemui para demonstran. Namun, buruh keukeuh untuk bertemu dengan Wahidin Halim.
Hingga tulisan ini diturunkan, massa buruh masih bertahan di areal pendopo Pemprov Banten. Mereka menyatakan akan tetap bertahan sampai tuntutannya dikabulkan.
Ardani salah seorang buruh mengatakan, demo ini merupakan akumulasi persoalan dari tuntutan kenaikan upah. Para buruh juga melakukan aksi penuh emosi karena disulut pernyataan Wahidin Halim yang meminta agar pengusaha mencari pegawai baru ketimbang mempertahankan buruh yang memperjuangkan kenaikan upah.
“Terlebih setelah gubernur Banten Wahidin Halim, menyatakan pengusaha cari pegawai baru saja. Kalau buruh tidak mau,” katanya.
Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Banten, Intan Indria Dewi mengatakan, aksi demonstrasi ini menuntut Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) untuk segera merevisi UMK 2022. Dimana buruh menuntut kenaikan UMK sebesar 5,4 persen.
“Kita masih menuntut (kenaikan UMK 2022) 5,4 persen. Dengan dasar pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional,” kata Intan.
Intan juga menilai, Gubernur Banten seharusnya mencontoh kepala daerah lain dalam menentukan besaran kenaikan UMK 2022 tanpa berpatokan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan.
“Gubernur (DKI Jakarta) Anis Basweda sudah merevisi UMK 2022. Alasannya merujuk data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan pertimbangan bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi di Jakarta,” paparnya.
“Harusnya Gubernur Banten juga berpatokam ke arah sana. Jangan berpatokan PP 36, ada nilai-nilai kemanusiaan yang jadi pertimbangan. Kan di sini bisa mencontoh DKI Jakarta, Gubernur Sumatera Barat yang (dalam menetapkan UMK) tidak berpatokan pada PP 36,” sambungnya.
Discussion about this post