PENGGUNAAN anggaran pemerintah yang dikelola Pemprov Banten maupun pemerintah daerah di bawahnya, belum menunjukkan itikad elit lokal untuk menjadikan pemerintahannya sebagai clean and good government. Miliaran rupiah uang rakyat yang dikelola pemerintah, masih banyak celah untuk ditilep oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020 yang dirilis Maret 2021 lalu, hampir seluruh entitas pemerintahan di Provinsi Banten memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Predikat itu menunjukkan tingkat akuntabilitas penggunaan keuangan negara yang dikelola pemerintah daerah.
Namun, status WTP bukan menjadi jaminan tak ada masalah dalam kegiatan atau program yang dijalankan pemerintah daerah. Buktinya, dalam LHP masih banyak kegiatan yang menyimpang dari aturan, bahkan memiliki indikasi telah merugikan keuangan Negara.
Sebagai contoh, di Pemprov Banten, BPK menjatuhkan sorotannya pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Bahkan Kepala BPKAD, Rina Dewanti dinilai tidak optimal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin di institusi tersebut.
Wajar saja BPK menilai demikian, ada triliunan rupiah dikelola BPKAD, namun bermasalah. Bahkan, BPKAD Banten dinyatakan tidak tertib dan lambat dalam penyaluran transfer bagi hasil pajak daerah 2020.
Dalam laporan itu disebutkan, transfer bagi hasil daerah yang belum disalurkan kepada Kabupaten/kota sebesar Rp449,602 miliar. Sedangkan dana yang sudah ditransfer kepada pemerintah kabupaten/kota tetapi dinyatakan terlambat, besarannya mencapai Rp442,431 miliar. Di luar itu, Bagi Hasil Pajak Rokok sebesar Rp108,790 miliar dinyatakan terlambat disalurkan kepada kabupaten/kota.
Selain itu, BPK juga menyoroti akuntabilitas pengelolaan aset oleh BPKAD Banten. Dimana pada saat LHP diterbitkan, sebanyak 590 bidang lahan belum bersertifikat. Nilai dari kelurusuhan lahan itu mencapai Rp7,6 triliun.
BPK juga mempertanyakan penggunaan lahan atau ruang di lingkungan badan sebagai fasilitas perbankan, yaitu dengan mendirikan sebanyak 18 unit ATM maupun kantor kas. KPK menyatakan tidak ada perjanjian sewa lahan untuk kepentingan itu, sehingga kemungkinan Negara dirugikan sebesar Rp173,338 juta.
Sementara, di Kota Serang, BPK menemukan lebih banyak masalah dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu yang terbesar adalah pengadaan Rapid Test pada Dinas Kesehatan Kota Serang. Laporan itu menyebutkan ada penyimpangan dalam pengadaan itu dan menimbulkan kerugian Negara hingga Rp658,300 juta.
“PT ZET tidak memenuhi persyaratan sebagai penyedia alat rapid test sesuai ketentuan,” kata laporan itu soal penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan rapid Test di Dinkes Kota Serang.
Discussion about this post