Lebih lanjut Rikil menegaskan, sejatinya tidak akan ada asap jika tidak ada api, begitupun tidak akan ada penerima suap, jika tidak ada yang memberi.
“Jelas di Pasal 5 UU RI No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pihak pemberi suap kepada penyelenggara negara. Ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta,” tuturnya.
Sorotan juga datang dari Ikatan Mahasiswa Cilegon (IMC). Ketua IMC Hariyanto mengatakan, seharusnya penetapan tersangka oleh Kejari atas Kadishub sebagai penerima suap dibarengi dengan penetapan tersangka terhadap pihak pemberi suap. “Kami rasa Kadishub tidak mungkin melakukannya sendiri. Dimana ada penerima pasti ada yang memberi,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) CIlegon, Ely Kusumastuti mengaku berhati-hati dalam menangani kasus dugaan suap UDA, Kadishub Cilegon yang menerima suap Rp530. Penyuap dari swasta yang meminta surat izin pengelolaan parkir Pasar Kranggot.
Kejaksaan belum menyasar pihak pemberi suap. Alasannya menggunakan azas praduga tak bersalah atau the presumption of innocence.
Ely mengaku berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Semuanya harus berdasarkan data dan bukti hukum yang kuat. “Saya belum bisa bilang yang memberi itu sudah masuk pemberi suap. Kami tidak boleh sembarangan, tidak boleh menyangka seseorang seperti itu. Karena kami memegang the presumption of innocence,” kata Ely saat konferensi pers, Kamis (19/8) lalu .
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Pemkot Cilegon, Agung Budi Prasetya kepada Banten Pos menjelaskan, jika UDA yang saat ini terjerat kasus hukum bisa didampingi penasehat hukum dari LKBH Korpri.
Agung menjelaskan bahwa, Pemerintah Daerah hanya mempunyai kewenangan pendampingan hukum terhadap Perangkat Daerah dan/atau ASN yang mengalami permasalahan hukum, yakni kasus Perdata dan TUN (Tata Usaha Negara).
Discussion about this post