“Hanya tinggal soal waktu rekor itu akan segera menembus angka 40 ribuan, lalu 50
ribuan, jika kita tak segera mengambil langkah luar biasa,” ungkapnya.
Kedua, kebijakan yang sudah diambil pemerintah belum memadai untuk memutus
kedaruratan. Meskipun berjudul PPKM Darurat di Jawa-Bali, namun kebijakan ini tak
bisa dianggap luar biasa. Dalam praktiknya di lapangan, kebijakan ini belum bisa
membatasi kegiatan masyarakat. Sebagian masyarakat merasa perlu mencari nafkah
harian untuk kebutuhan hidup sehati-hari karena pemerintah tidak memberi
kompensasi atas pembatasan ini.
“Apalagi, di sisi lain, hingga hari ini pemerintah masih saja membuka pintu bandara
dan pelabuhan. TKA asing dari Tiongkok masih bisa melenggang masuk. Keadaan ini
membuat sebagian masyarakat merasa didiskriminasi,” ungkapnya.
Ketiga, kemampuan infrastruktur kesehatan Indonesia sudah di ambang batas.
Menurut data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), saat ini
okupansi tempat tidur di berbagai rumah sakit di Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa
Barat dan Jawa Tengah sudah mencapai 100 persen. PERSI menyampaikan bahwa
jumlah kasus aktif telah meningkat di 28 provinsi. Tabung oksigen dan oksigennya
sendiri menjadi langka dan tak memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan.
Terjadi panic buying untuk sejumlah obat, vitamin bahkan susu.
Wabah saat ini memang masih berpusat di Jawa, namun lonjakan kenaikan kasus,
lonjakan okupansi ruangan di rumah sakit, juga terjadi di luar Jawa, seperti
Kalimantan Barat, Lampung dan Kepulauan Riau.
“Jika kasus ini terus meningkat, krisis bukan hanya akan terjadi di rumah sakit-rumah
sakit di Jawa, tapi juga di berbagai provinsi lain di luar Jawa,” katanya.
Menurut data Lapor Covid-19, pekan lalu tercatat ada 265 kematian di luar rumah
sakit, pada saat orang-orang mengisolasi diri di rumah atau mengantri untuk
mendapatkan tempat tidur darurat. Data ini bisa memberikan gambaran bagaimana
infrastruktur kesehatan ini sudah tak lagi bisa melayani pasien-pasien baru yang terus
bermunculan.
Discussion about this post