Terpisah, pendamping saba budaya Baduy, Uday Suhada, mengatakan bahwa polemik yang muncul terkait masyarakat Baduy tersebut sebenarnya hanya keinginan masyarakat Baduy agar merubah istilah destinasi wisata, menjadi saba budaya.
“Mereka inginnya merubah istilah. Sekarang itu kan disebutnya wisata, mereka tidak mau dianggap sebagai objek ketika menggunakan istilah pariwisata. Maka mereka inginnya merubah selutuh istilah wisata Baduy dirubah menjadi saba budaya,” ujarnya.
Uday menegaskan bahwa penggunaan istilah destinasi wisata membuat mereka seolah-olah bukanlah manusia. Namun perubahan istilah tersebut bukan berarti mereka tidak ingin dikunjungi oleh orang luar, karena bagi mereka menolak tamu merupakan hal yang pantang dilakukan.
“Orang baduy itu dalam sejarahnya tidak mungkin menolak tamu. Itu pantangan bagi mereka ketika ada tamu tapi ditolak. Sehingga tidak mungkin ada penutupan kunjungan. Namanya juga saba, silaturahmi, maka itu berarti mereka membuka silaturahmi. Mereka tidak mau menutup silaturahmi,” terangnya.
Selain itu, ia menuturkan bahwa memang ada kekhawatiran terkait rusaknya alam dan budaya. Namun untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa pihak termasuk dirinya sudah mengusulkan langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut.
“Bagaimana untuk mengurai kunjungan, kami mengusulkan salah satunya dengan membuat institusi diluar Lembaga Adat untuk jadi pusat informasi budaya Baduy. Bayangkan dalam sehari 1.000 lebih pengunjung ke Baduy,” jelasnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa terdapat Perdes No. 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Kanekes (Baduy). Dalam Perdes itu, terdapat beberapa ketentuan apabila masyarakat ingin melakukan Saba Budaya ke masyarakat Baduy.
“Namun sayangnya, Perdes tersebut ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pemerintahan daerah kurang membantu dalam menyosialisasikan perdes itu. Bahkan Dinas Pariwisata baru tahu bahwa ada perdes itu,” jelasnya.
Ia pun mengatakan bahwa terkait tuntutan agar merubah segala istilah dan nomenklatur wisata Baduy dan menggantinya menjadi Saba Budaya, dirasa dapat direalisasikan oleh pemerintah. Sebab menurutnya, tuntutan tersebut adalah keinginan masyarakat Baduy agar dapat dimanusiakan, tidak dianggap sebagai objek wisata.
Discussion about this post