PEMBANGUNAN dua rumah sakit milik Pemprov Banten malah rentan menimbulkan ‘penyakit’. Sejumlah kejanggalan dan carut-marut dalam proses menuju beroperasinya RSUD Cilograng dan RSUD Labuan menunjukkan adanya indikasi penyimpangan. Gubernur Banten, Andra Soni ditantang untuk ‘menyehatkan’ jajaran birokrasinya sebelum menyehatkan Masyarakat.
Pembangunan RSUD Cilograng dan RSUD Labuan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten diwarnai dengan dugaan ketidakwajaran penggunaan anggaran. Dalam dua tahun terakhir (2023–2024), muncul temuan signifikan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan adanya indikasi penyimpangan.
Di antaranya adalah pengadaan makan minum yang tidak sesuai kebutuhan sehingga banyak yang kedaluwarsa dan dibeli dengan harga di atas pasar. Selain itu, terdapat pengeluaran obat-obatan tanpa dokumen permintaan, meskipun kedua rumah sakit tersebut belum beroperasi dan belum memiliki pasien. Belum lagi indikasi anggaran aneh di tahun sebelumnya, Dimana Dinkes Banten menganggarkan petugas kebersihan saat proyek Pembangunan sedang berjalan.
BPK Perwakilan Provinsi Banten menemukan adanya dugaan skema obat fiktif di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Cilograng. Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK untuk anggaran 2024 di Provinsi Banten, terdapat temuan penggunaan Obat Keluar Tanpa Dokumen Permintaan Barang pada UPTD RSUD Cilograng.
Dalam laporannya, BPK menyebutkan, Dinkes Banten pada tahun 2024 merealisasikan belanja obat dan alat Kesehatan untuk RSUD Labuan dan RSUD Cilograng senilai Rp15,962 miliar lebih. BElanja obat dan alat Kesehatan dinilai tidak berdasar kebutuhan karena hingga saat ini kedua rumah sakit itu belum beroperasi.
Berdasarkan uji petik yang dilakukan, BPK menemukan terdapat obat dan alat Kesehatan yang tidak sama dengan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dalam surat kontrak. Tempat penyimpanan obat di kedua rumah sakit itu juga belum memadai karena hanya disimpan di lorong-lorong, ruang rawat inap, ruang poli dan ruang instalasi gawat darurat, bukannya di gudang obat.