JAKARTA, BANPOS – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ciptaker yang diterbitkan Presiden Jokowi di akhir tahun 2022, menuai polemik. Mereka yang protes melakukan berbagai upaya untuk membatalkan Perppu tersebut. Salah satunya, melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berharap MK tidak bermain api dengan menguji Perppu Ciptaker ini, dikarenakan ada objek dan sengketa kewenangan didalamnya.
“Dalam pandangan saya, MK bertindak prematur jika menguji Perppu sebelum DPR bersikap. Saya berharap MK tidak bermain api tentang Perppu. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Apalagi sampai menimbulkan sengketa kewenangan dengan DPR,” ujar Yusril saat diwawancara Rakyat Merdeka (BANPOS grup), kemarin.
Menurutnya, jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara. Kewenangannya diberikan oleh UUD. “Apakah MK akan mengadili dirinya sendiri?” imbuhnya.
Ia menyatakan, para hakim MK perlu bersikap negarawan. Melek konstitusi. Menurutnya, hakim MK sebaiknya menahan diri untuk menguji Perppu.
“Karena selama ini belum ada hakim MK yang memutuskan gugatan Perppu lantaran lebih dulu disahkan DPR. Dengan disahkannya Perppu menjadi UU, maka perkara pengujian Perppu menjadi kehilangan obyeknya,” papar Yusril.
Menurutnya, peluang DPR untuk menerima Perppu Ciptaker tersebut sangat besar. Sebab, peran DPR terhadap Perppu yang diajukan oleh Presiden hanya 2; menerima atau menolak. Sementara, kekuatan partai koalisi pemerintah di DPR sangat dominan.
“Andai dua fraksi menolak, mayoritas DPR akan terima. PKS dan Demokrat nampaknya tidak akan mau voting, paling ajukan minderheid nota,” terang Yusril.
Menurut Yusril, penerbitan Perppu Ciptaker ini bukan merupakan pilihan yang tepat jika dilihat dari sudut pandang normative dan akademik, namun, hal tersebut juga harus mempertimbangkan kondisi saat ini.
“Perppu menjadi pilihan paling mungkin yang diambil Pak Jokowi setelah mendapatkan penolakan bersyarat dari MK. Tentu bukan pilihan terbaik. Apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik, tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan,” jelasnya.
Discussion about this post