Sinergi Lokal-Formal Menuju Solusi Holistik
Namun dalam realitasnya, distribusi bantuan dan intervensi pemerintah cenderung formal dan birokratis. Di beberapa wilayah seperti Bayah dan Gunung Kencana, komunitas dzikir mengaku tidak mendapat akses yang setara terhadap bantuan bencana karena mereka tidak masuk dalam kategori RT/RW administratif yang tercatat. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara struktur sosial formal dan komunitas spiritual yang organik.
Pemerintah daerah perlu membaca ulang lanskap sosial Banten. Komunitas tarekat, pesantren, dan majelis dzikir bukan entitas pinggiran. Mereka adalah “mitra tak resmi” yang bekerja tanpa surat tugas, tetapi punya legitimasi kuat di tengah masyarakat. Pengalaman masa pandemi bisa jadi pelajaran. Saat pemerintah kewalahan, banyak jaringan spiritual yang mengatur sistem swadaya pangan, penggalangan dana daring, hingga pendampingan psikologis pasca isolasi. Maka, dalam konteks kebencanaan hari ini, infrastruktur sosial berbasis ruhani harus diakui dan dilibatkan.
Sejumlah daerah sebenarnya telah mencoba menerapkan ini. Misalnya, program Desa Siaga Bencana Berbasis Pesantren yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial RI bersama PWNU di Jawa Timur bisa dijadikan contoh. Di Banten, kebijakan semacam itu bisa diperluas dengan membangun sinergi struktural antara pemprov dan komunitas tarekat.
Kearifan lokal bukan hanya soal “melestarikan tradisi”, tetapi tentang memulihkan daya hidup sosial. Bila tidak dikolaborasikan dengan kebijakan publik, nilai-nilai lokal hanya menjadi retorika estetika yang dikomersialisasi. Namun jika dirangkul, akan lahir kebijakan yang bersumber dari iman sosial, bukan sekadar dari instrumen hukum. Dalam perspektif sosiolog Norwegia, Dag Hammarskjöld, pembangunan sejati adalah pembangunan manusia yang menyatu dengan nilai spiritualnya.
E-Paper BANPOS Terbaru
Arah Baru Pembangunan Spiritual-Sosial
Kita hidup di zaman di mana kebijakan sering terputus dari akar batin masyarakat. Banten punya peluang besar membalik arah. Sunan Gunung Jati, yang menjadi ikon spiritual pesisir utara, mewariskan bukan hanya Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai peradaban dialog, estetika, dan keterbukaan. Warisan inilah yang direvitalisasi oleh para mursyid tarekat seperti di TQN Suryalaya, TQN Cidahu, dan Syattariyah Binuangeun—yang kini tidak hanya bicara tasawuf, tapi juga bicara pertanian, kesehatan mental, hingga ekologi.
Discussion about this post