Dari Ritual ke Resiliensi Sosial
Banyak pihak sering meremehkan pengajian kampung dan majelis taklim ibu-ibu se-bagai aktivitas seremonial semata. Padahal, justru dari ruang-ruang sederhana inilah nilai gotong royong, empati, dan tanggung jawab sosial terus diwariskan. Di bawah asuhan para ajengan kampung, ajaran tasawuf tidak hanya diajarkan secara teoritik, tetapi dilatih dalam bentuk aksi: membersihkan lingkungan, merawat orang sakit, dan mendamaikan warga yang berselisih.
Contoh nyata bisa dilihat dari kiprah pesantren warisan KH Tb. Achmad Chatib di Pandeglang, yang selama hidupnya dikenal bukan hanya sebagai ulama fikih, tapi juga mursyid spiritual yang memadukan dzikir dan kerja sosial. Santri-santrinya hari ini aktif dalam berbagai kegiatan sosial: dari penyaluran bantuan, pelatihan keterampilan, hingga advokasi lingkungan.
Apa yang kita saksikan ini adalah wujud nyata dari apa yang disebut Baker dan Smith (2009) sebagai spiritual capital—modal ruhani yang bisa ditransformasikan menjadi aksi nyata demi kebaikan bersama. Di tengah tekanan ekonomi dan ketimpangan sosial yang makin terasa, nilai-nilai spiritual semacam ini menjadi jangkar yang menstabilkan.
Masyarakat kampung kini, dalam banyak hal, lebih percaya kepada petuah ajengan ketimbang imbauan formal dari aparat desa. Hal ini bukan bentuk pembangkangan, tetapi cermin dari otoritas spiritual yang dibangun lewat kehadiran dan keteladanan. Otoritas itu hidup dari keterlibatan langsung para ajengan dalam urusan keseharian warga: ikut men-gevakuasi korban banjir, mendampingi proses mediasi warga, hingga membimbing doa saat pemakaman.
Sosiolog agama N.J. Coulson menyebut bahwa otoritas keagamaan yang paling tahan lama bukan yang lahir dari struktur formal, tetapi dari kontinuitas pelayanan kepada umat. Di Banten, hal ini terbukti dalam relasi antara masyarakat dan guru-guru spiritualnya.
E-Paper BANPOS Terbaru
Di tengah situasi krisis hari ini, seperti bencana banjir yang menghantam Banten akhir Juni lalu, otoritas formal sering kewalahan karena terbatasnya sistem dan anggaran. Di sinilah aktor-aktor spiritual lokal mengambil alih peran sebagai simpul ketahanan sosial: menyediakan ruang aman secara emosional dan spiritual bagi warga.
Discussion about this post