TRADISI tarekat dan majelis dzikir di Banten bukan hanya ritual keagamaan, tetapi fondasi solidaritas dan ketahanan warga menghadapi krisis.
Spiritual yang Sosial: Warisan yang Terjaga
Sepekan terakhir, Banten kembali menghadapi ujian alam: banjir rob melanda wilayah pesisir Serang dan Kota Cilegon. Bukan hanya infrastruktur yang lumpuh, tetapi juga ratusan warga terpaksa mengungsi. Di tengah kepanikan, muncul inisiatif dari Majelis Dzikir Banten—menggelar dzikir akbar dan gerakan bantuan sosial lintas kampung sebagai bentuk rekonsiliasi sosial berbasis spiritualitas.
Fenomena ini bukan hal baru di Banten. Sejak abad ke-16, wilayah ini telah dikenal sebagai ladang subur pertumbuhan Islam sufistik yang membumi. Islam hadir bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan pendekatan budaya, hikmah, dan laku batin. Warisan dari para ulama, ajengan, dan para mursyid tarekat hidup dalam bentuk dzikir bersama, haul ulama, dan tradisi mapag berkah yang sampai kini masih lestari.
Dalam tinjauan klasik Émile Durkheim (1912), praktik keagamaan seperti ini berfungsi bukan hanya sebagai ekspresi iman, melainkan sebagai “kekuatan kohesi sosial.” Majelis dzikir menjadi ruang yang mempertemukan warga, bukan sekadar karena iman yang sama, tapi kare-na keresahan, harapan, dan pengalaman hidup yang sama. Dalam bahasa Peter Berger (1967), ruang-ruang spiritual ini menjadi plausibility structure—kerangka yang memungkinkan masyarakat tetap percaya pada hidup, bahkan di tengah musibah.
E-Paper BANPOS Terbaru
Kita bisa melihat peran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Pandeglang, Lebak, dan Rangkasbitung. Komunitas ini bukan hanya sibuk dengan wirid malam Jumat, tetapi aktif dalam penguatan mental warga: menggelar santunan untuk korban bencana, membangun dapur umum pasca-banjir, bahkan membuka layanan konseling spiritual bagi warga terdampak. Mereka membuktikan bahwa dzikir tidak berhenti di sajadah, tapi terus hidup di dapur, di lapangan, dan di posko-posko pengungsian.
Hal yang sama juga terlihat dalam aktivitas haul dan ziarah ke makam ulama seperti KH Syam’un di Serang atau KH Abdullah Rasyid di Pandeglang. Tradisi ini menjadi momen konsolidasi spiritual dan sosial: memperkuat tali silaturahmi warga sekaligus membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya saling jaga dan saling jamin.
Discussion about this post