SERANG, BANPOS – Sabtu lalu, tepat 100 hari sejak pemerintahan Provinsi Banten berjalan. Tradisi intelektual masyarakat kerap menjadikan momen 100 hari kerja sebagai waktu untuk melakukan evaluasi.
Begitu pula dengan para komika, sebutan bagi mereka yang melakukan Stand Up Comedy, suara masyarakat yang menginginkan adanya evaluasi kinerja mereka angkat bukan lewat spanduk atau mimbar formal, tapi melalui tawa.
Pada Sabtu (31/5) lalu, acara stand up comedy showcase bertajuk ‘Banten Seratus Harian’ digelar di Aula Inspektorat Provinsi Banten, dihadiri 150 penonton dari berbagai kalangan, termasuk tamu undangan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten.
Acara ini bukan sekadar hiburan. Komika-komika lokal seperti Adam Datau, Andis Brighter, Umin Baheula, dan Hadi Callout tampil dengan materi yang membumi: dengan materi yang mengangkat isu sosial, budaya, hingga keresahan masyarakat sehari-hari.
Materi-materi itu disampaikan dengan jenaka, namun sarat makna. Acara dipandu dengan penuh energi oleh Tegar Negoro dan Iqbal Santos, serta dibuka oleh penampilan dari Rama dan Dwi.
E-Paper BANPOS Terbaru
Di tengah acara, audiens diajak menulis ‘Surat Cinta untuk Banten’ sebagai bentuk partisipasi publik untuk menyampaikan kritik dan harapan secara jujur, namun tetap elegan.
Antusiasme tinggi menandakan bahwa masyarakat ingin didengar, bukan hanya diajak tepuk tangan.
Beberapa isi surat yang dituliskan menunjukkan keresahan yang sangat relevan:
- “Jalan raya sama lampu penerangan dibagusin dong.”
- “Banten bisa gaya bebas dari pungli.”
- “Banten katanya menuju ramah disabilitas, 100 hari udah bikin apa buat rakyat disabilitas?”
- “Jalan Pandeglang tuh benerin.”
- “Jangan pencitraan mulu.”
- “Sejahterakan warganya, jangan blunder mulu. Capek woy”
- “Banten dipimpin sama pemerintah, apa kerajaan?”
- “Terlalu banyak kalau nuangin keresahan, gamuat.”
Isi-isi tersebut bukan sekadar keluhan, tapi ekspresi kejujuran rakyat terhadap realitas yang mereka hadapi sehari-hari.
Melalui media komedi dan tulisan tangan, masyarakat menunjukkan bahwa mereka tak apatis—mereka hanya butuh ruang aman untuk bersuara.