Dalam lampiran rincian obat temuan dari LHP BPK tersebut, sebanyak 476.688,00 total barang yang diduga digunakan secara fiktif dengan kerugian negara atas nilai barang tersebut sejumlah Rp226 juta lebih. Dugaan skema obat fiktif tersebut dikarenakan hingga saat ini, diketahui RSUD Cilograng masih belum beroperasi.
Sementara, berdasar penelusuran BANPOS, pada tahun lalu Dinkes Banten menganggarkan 130 paket pengadaan obat-obatan dengan nilai Rp15,9 miliar. Keseluruhan paket itu masing-masing 64 paket kegiatan pengadaan di RSUD Labuan dengan anggaran Rp8,995 miliar dan 66 paket di RSUD Cilograng dengan anggaran Rp7,103 miliar lebih.
BPK juga menemukan pengadaan mamin senilai Rp1,89 miliar yang dilakukan saat kedua rumah sakit yang belum mulai beroperasi tersebut. Belanja dilakukan oleh Dinas Kesehatan Banten melalui dua rekanan, yakni CV DPS dan CV PBS.
Tak hanya pengadaan yang dinilai prematur, BPK juga mencatat adanya bahan makanan dengan masa kadaluarsa yang dekat. Salah satu produk yang disorot adalah susu UHT yang tercatat akan kadaluarsa pada Juni 2025, sementara hingga kini belum ada layanan pasien yang berjalan di kedua rumah sakit tersebut.
Selain itu, BPK juga menyebut jika adanya markup harga dalam pengadaan tersebut. Di mana, terdapat selisih harga kontrak dengan harga pasar yang nilainya mencapai Rp251,7 juta.
E-Paper BANPOS Terbaru
Di RSUD Cilograng, penggunaan anggaran juga dipertanyakan. Pada tahun 2023, anggaran untuk jasa tenaga kebersihan halaman dan gedung muncul bersamaan dengan anggaran pembangunan lanjutan rumah sakit. Padahal saat itu proses konstruksi masih berlangsung dan menjadi tanggung jawab kontraktor.
Bahkan, pekerjaan landscape halaman baru dibangun pada 2024, namun anggaran kebersihannya sudah dialokasikan sebelumnya.
Temuan-temuan tersebut menimbulkan dugaan bahwa pembangunan rumah sakit dimanfaatkan oleh oknum tertentu di Dinas Kesehatan untuk meraup keuntungan pribadi, bukan semata demi pelayanan publik.
“Pemborosan keuangan daerah atas pengadaan obat, BMHP, bahan makan dan minum pasien serta SIMRS yang belum dimanfaatkan senilai Rp36.861.279.336,” demikian tercantum dalam LHP BPK.