Keruntuhan Daulat Politik Daerah
Artinya daulat politik daerah perlahan tapi pasti telah memudar dalam makna yang sesungguhnya. Pilkada 2024 ini cenderung disodori menu calon dari pusat koalisi. Pemilihan dan sistem masih sama tetapi jalan masuk ke gerbang pencalonan harus melewati ambang batas dan selera kekuasaan. Selain daulat politik daerah yang hilang, menu-menu itu sekaligus mencerminkan sejumlah perubahan besar konstelasi praktik makro politik.
Pertama, praktik penerapan politik by design akan mendikte arus dinamika politik lokal. Arus yang beragam di daerah diaransemen pusat melalui instrument internal partai seperti pemberian mandat dan surat Keputusan dewan pimpinan pusat partai. Persyaratan formulir di KPU yang mewajibkan ketebelece pusat itu menjadi titik masuk betapa politik elektorial yang nampaknya egaliter itu mudah dijaga ketat oleh kuasa politik terpusat. Pencalonan kepala daerah yang egaliter—siapa saja dapat mencalonkan diri asal memiliki kapasitas—kini lebih cocok disebut sebagai utopia politik. Memang masih ada landasan “siapapun dapat mencalonkan diri”, tetapi ini propaganda agar aturan pilkada masih nampak dipenuhi nilai etik kesetaraan. Substansi “siapa saja” dikembalikan pada siapa yang sanggup menyesuaikan selera sentral koalisi.
Bagi figur calon kepala daerah, memenuhi selera pusat koalisi akan memerlukan logistik politik yang tidak murah. Menggerakan pos-pos utama di pusat koalisi agar mengantongi surat tugas atau rekomendasi, harus memastikan keseluruhan mitra koalisi tidak mengajukan jago lain. Persetujuan lintas mitra partai di internal koalisi itu akan menyeleksi bahwa kepala daerah harus sejalan dengan pusat koalisi. Penetapan calon kepala daerah adalah panggung kuasa politik yang terpusat, tanpa itu tidak ada politisi yang bisa berdiri di laga pilkada. Ibaratnya tangan pusat ada tetap ada di leher calon kepala daerah.
Kedua, arsitektur sistem politik nasional pada masa kini didasari oleh komitmen rigid bernama koalisi. Padahal tidak ada aturan tata negara yang secara eksplisit menyebut penggabungan kemitraan partai untuk mengelola kekuasaan. Semenjak ada ambang batas pilpres, partai yang berhasil mendudukan jagoannya ke kursi kepala negara menjadi titik pusat koalisi partai. Tapi postur koalisi ini tidak pernah baku. Dapat bertambah dengan masuk atau keluarnya partai di mitra koalisi. Postur kemitraan di daerah untuk menyambut pilkada juga tidak selalu sama.
Discussion about this post