Oleh: Hudjolly
Tidak aneh jika indeks demokrasi Indonesia konon disebut terus merosot. Gejala praktik politik the winner takes all kian jelas. Tidak tanggung-tanggung dari kuota kabinet sampai kepala daerah boleh jadi diambil dalam satu helaan nafas: pusat kendali koalisi. Soal pembagian jatah kursi kabinet dan komisaris telah jadi sajian lumrah pasca pilpres.
Tetapi satu yang kian menonjol usai urusan pilpres adalah desentralisasi politik yang bukan lagi keniscayaan setelah 26 tahun reformasi bergulir. Politik pemilihan kepala daerah ditentukan menunya oleh pusat, suka atau tidak suka. Orang di daerah tinggal milih, menu sudah paket dari pusat. Bagi kontestan dalam kubu koalisi, yang boleh berlaga adalah figur yang mendapatkan restu dari pusat kendali. Ini bisa lintas partai. Figur calon harus satu selera dengan pusat terutama untuk kursi gubernur. Bagi orang di luar pusat kendali koalisi, pencalonan musti diusung parpol tetap dengan ambang batas tertentu. Keputusan MK tidak membabad habis syarat ambang batas.
Selera pusat memberi menyusun menu pilihan di pilkada dipengaruhi relasi kemesraan kekuasaan: mesra dengan partai pengusung, dan mudah berkedip mata dengan figur calon. Jika partai pengusung sudah mesra dengan kekuasaan dan figur tidak banyak mengalami penolakan maka restu laga pilkada segera dikantongi, meski jauh-jauh hari. Jika partai pengusung tidak lincah bermanuver dengan pusat koalisi ditambah figur calon susah dijual ke mitra koalisi maka tiket akan disesuaikan dengan selera pusat kendali koalisi.
Partai pengusung akan dipaksa menggunakan diksi “memberikan tugas dan mandat lain” pada figur. Persoalannya untuk menjadi menu di pilkada bukan monopoli peluang bagi kader partai saja. Figur yang dielus pusat koalisi sekalipun bukan kader partai dapat mengangkangi partai mitra. Pusat kendali koalisi menjadi centre gravitasi pilkada.
Persoalan lain menjelang pilkada serentak di 2024 ini faktor-faktor penentu dinamika politik local yang dulu begitu fluktuatif kini cenderung dimainkan secara terpusat? Tentu Ini berbeda dengan masa ketika desentralisasi berjaya. Ada kutub-kutub seperti local strongman atau kelompok berjejaring, powercube, yang masih dapat bertukar strategi menggalang dukungan publik. Dulu dukungan publik sangat menentukan penilaian pusat untuk menjatuhkan rekomendasi. Elektabilitas dan popularitas dianggap sebagai poin penentu. Kini point penentu ada pada seberapa unik relasi kuasa antara figur dengan pusat kendali koalisi.
Discussion about this post