JAKARTA, BANPOS – Beberapa fakta mengkhawatirkan muncul ketika aksi kekerasan dan intoleransi yang mengatasnamkan agama dalam beberapa tahun terakhir sudah masuk di kalangan remaja dan dunia pendidikan. Sebagai contoh, di masa pandemi Covid-19, dua tahun lalu kita dikejutkan dengan penyerangan bom yang terjadi di Makassar pada 28 Maret 2021, pelakunya dalah pasangan muda suami istri. Selain itu, kita juga bisa melihat kejadian penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret 2021 adalah Zakiah Aini, merupakan simpatisan ISIS serta mahasiswi yang tidak selesai dalam studinya.
Aksi-aksi terorisme dan kekerasan yang menimpa kalangan muda dan terpelajar yang terjadi di atas tidak terlepas dari adanya paham ekstremisme, radikalisme, dan intoleransi yang sudah masuk ke dalam sekolah, mulai dari TK sampai SMA. Survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menunjukkan, radikalisme yang berkaitan dengan dukungan terhadap ide negara Islam dan intoleransi sedang mengancam guru-guru muslim di Indonesia, mulai dari TK sampai SMA. Walaupun dari segi perilaku mereka cenderung moderat, tetapi dari sisi opini persentase yang intoleran lebih besar dibanding dengan yang toleran. Kondisi tersebut sangat berbahaya, kerena opini yang radikal dan intoleran tersebut bisa menjadi jembatan bagi lahirnya perilaku yang radikal dan intoleran (Ferdiansyah, 2022).
Maraknya paham radikalisme agama di dunia pendidikan terlihat dalam hasil riset tentang “Sikap Keberagamaan Gen Z” yang juga dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2018. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa pada level opini, pelajar kita cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran, opini radikal sebesar 58,5 persen, adapun yang memiliki opini intoleransi internal sebesar 51,1 persen, kemudian opini intoleransi eksternal sebanyak 34,3 persen.
Sedangkan dari tinjauan terkait aksi, siswa memiliki perilaku keagamaan yang cenderung moderat atau toleran, maka dapat dilihat bahwa yang melakukan aksi radikal sebanyak 7 persen dan aksi intoleransi eksternal sebanya 17,3 persen. Yang menarik, dalam temuan tersebut bahwa aksi intoleransi internal komunitas Islam sendiri cenderung lebih tinggi, yaitu sebesar 34,1 persen. Ini menunjukan bahwa masalah kita bukan hanya pada kerukunan antar umat beragama namun juga dalam keharmonisan sesama muslim sendiri.
Discussion about this post