Jika dirunut kebelakang, Di zaman Orde Lama dan Orde Baru (Orba) kita melihat kuatnya militansi pada parpol. Juga pada pemilu awal reformasi Tahun 1999, sistem itu masih dipakai. Saat itu konstituen tak memandang siapa sosok figur caleg yang ada di partai tersebut, bahkan banyak yang tak kenal.
Konstituen pemilih saat itu hanya fanatik terhadap partainya. Zaman Orba untuk menjadi caleg di parpol mana pun tak mudah asal daftar, kader baru harus punya jam terbang pengabdian selama beberapa tahun.
Model politik saat itu Parpol lah yang berhak menentukan siapa legislatif yang duduk, dalam hal ini tentu kader partai yang telah lama mengabdi akan diprioritaskan. Namun kadang sistem ini membuka celah lahirnya hegemoni dinasti di tingkatan elit parpol itu sendiri.
Di sini bisa disimak, jika kita melihat perbedaan antara sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup semuanya memiliki kelebihan dan kelemahan tergantung dari sudut kepentingannya.
Proporsional tertutup dapat membangun konsepsi ideologis, sehingga akan lahir militansi kepartaian. Sedangkan jika proporsional terbuka, konstituen pasti memilih figur calegnya langsung. Sehingga wajar, wabah pragmatisme politik dan serbuan kaum oportunis pastinya tak bisa ditepis. Karena parpol tak ubahnya kendaraan politik tanpa memiliki ideologi militan, namun ini masih bisa dipandang fair. (*)
Discussion about this post