PARTONO, bukan nama sebenarnya, seorang nelayan asal Karangantu-Kota Serang, tengah melamun bersama dengan beberapa rekannya di Pulau Pisang yang juga dikenal sebagai Pulau Kambing. Pulau Pisang merupakan salah satu pulau, dalam gugusan pulau-pulau kecil yang berada di Teluk Banten. Jaraknya hanya sekitar 15 menit dari Pelabuhan Karangantu.
Partono melamun di pulau tersebut bukan tanpa alasan. Dirinya dan rekan-rekannya memikirkan, mengapa mereka yang merupakan masyarakat nelayan di Teluk Banten, tidak lagi boleh menjala ikan di Pulau Lima. Padahal, Pulau Lima merupakan salah satu tempat yang biasa mereka gunakan untuk menjala ikan.
“Aneh saya mah, kami penduduk asli di wilayah perairan Teluk Banten, malah tidak boleh untuk nyari ikan di Pulau Lima. Padahal tempat itu merupakan tempat kami mencari ikan sejak dulu,” ujarnya kepada BANPOS, sambil memandangi Pulau Lima. Memang, Pulau Pisang dan Pulau Lima bertetangga. Jaraknya kurang lebih hanya 100 meter saja.
Menurut dia, pelarangan masyarakat pesisir untuk bisa mendatangi Pulau Lima, sudah berlangsung kurang lebih setengah tahun. Terakhir kali mereka bisa menginjakkan kaki di Pulau Lima, adalah ketika perayaan Festival Teluk Banten yang dipusatkan di sana. Ia mengaku, pelarangan dilakukan oleh ‘pemilik’ pulau. Kendati demikian, dia tidak tahu persis siapa pemilik yang dimaksud.
Akibat pelarangan untuk mendarat di Pulau Lima, wisata menuju pulau itu pun ditutup. Nelayan yang kerap mengantarkan pelancong untuk pergi ke pulau, termasuk Pulau Lima, akhirnya membuka destinasi baru. Pulau Pisang lah yang akhirnya dijadikan sebagai destinasi alternatif dari Pulau Lima.
Pantauan BANPOS di Pulau Pisang, terlihat bahwa pulau tersebut seperti baru saja dibuka untuk dapat dijajaki oleh pelancong. Dari keseluruhan pulau, hanya sekitar 20 persen saja yang dapat disinggahi. Sisanya, masih berbentuk hutan belukar.
Terdapat kuburan yang dikeramatkan di sana. Keterangan dari nelayan yang mengantar BANPOS ke Pulau Pisang, makam tersebut merupakan makan dari Ki Pangsit, seorang sakti zaman kolonial dahulu. Kuburannya berada di tengah-tengah pulau dan kerap diziarahi oleh masyarakat.
Discussion about this post