SERANG, BANPOS – Menanggapi mulai terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di Provinsi Banten, DPRD menilai harus ada solusi yang dapat dilakukan oleh Pemprov Banten. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif kepada perusahaan padat karya.
Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi Banten Dede Rohana Putra, menyayangkan, atas rencana PHK massal tersebut.
Ia bisa memahami bahwa masalah itu terjadi disebabkan oleh kondisi pasar global yang sedang lesu. Ditambah lagi karena sejumlah perusahaan yang ada, merasa keberatan dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Provinsi Banten yang dianggapnya terlalu tinggi.
Oleh karenanya, anggota Fraksi PAN itu pun meminta kepada semua pihak untuk dapat bersama-sama mencarikan solusi, agar masalah itu dapat segera teratasi.
“Memang informasinya karena pasar yang lesu termasuk karena memindahkan produksinya dari Banten ke daerah Jawa yang UMK nya masih rendah. Maka mudah-mudahan kondisi ini bisa segera kita carikan solusinya secara bersama-sama, supaya pihak industri bisa tetap bertahan di Banten, bisa tetap survive, bisa tetap untung tidak harus pindah dari wilayah Provinsi Banten,” ucapnya.
Menanggapi soal tingginya UMK di Provinsi Banten yang dirasa terlalu memberatkan sejumlah perusahaan, sehingga menjadi pemicu terjadinya gelombang PHK, Dede mengaku bahwa pihaknya sempat mengajukan sejumlah solusi kepada Pemprov Banten.
Salah satunya adalah dengan melakukan pemberian insentif bebas pajak daerah bagi industri padat karya. Tujuannya adalah agar, perusahaan tersebut dapat terus bergerak dan bertahan.
“Saya juga menawarkan, selain itu, bisa gak dikasih insentif bebas pajak daerah misalnya bagi beberapa industri yang padat karya yang memang mengalami kesulitan,” terangnya.
Hanya saja, terkait hal itu, Dede mengaku masih butuh kajian lebih dalam terhadap usulan tersebut, sebelum akhirnya diterima dan diterapkan.
Namun saat disinggung perihal, apakah gelombang PHK itu merupakan imbas dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja seperti yang disampaikan oleh kelompok serikat buruh dan Partai Buruh, Dede mengaku bahwa dirinya belum melihat adanya keterkaitan akan hal itu.
“Saya belum melihat benang merahnya, karena memang ini baru informasi saya baca juga di beberapa media, korelasinya saya belum melihat antara Undang-Undang Omnibus Law dan PHK massal yang terjadi di Banten. Jadi saya belum melihat argumentasinya, belum melihat konsideran apa dasarnya mereka menyatakan itu,” tegasnya.
Sebelumnya, dikabarkan bahwa salah satu perusahaan sepatu di Kabupaten Tangerang, PT Horn Ming Indonesia, berencana akan memberhentikan sekitar 40 persen atau sekitar 600 orang karyawannya dalam waktu dekat ini.
Mendapati kabar tersebut, Ketua Mahkamah Partai Buruh yang sekaligus juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI) Riden Hatam Aziz menyayangkan hal itu terjadi.
Ia menilai, gelombang PHK yang terjadi selain karena disebabkan oleh lesunya kondisi pasar global, juga turut disebabkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang membuat perusahaan dapat bertindak seenaknya terhadap para buruh.
Hal itulah yang kemudian disayangkan, sekaligus disoroti oleh kelompok serikat buruh dan Partai Buruh di Provinsi Banten.
Sebagai contoh, Riden menggambarkan, bagaimana kini perusahaan dapat menetapkan besaran pesangon bagi karyawan dengan jumlah yang kecil.
“Di undang-undang sekarang (Cipta Kerja) pesangon itu 0,5 (kali). Itulah yang mendorong pengusaha mudah mem-PHK,” terangnya.(MG-01/PBN)
Discussion about this post