SERANG, BANPOS – Terpidana kasus korupsi pengadaan lahan SAMSAT Malingping Tahun Anggaran 2019 Samad, menyeret-nyeret nama mantan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banten, Opar Sohari dalam kasusnya tersebut. Ia menyatakan bahwa sebagai pemegang kebijakan, seharusnya Opar juga terkena hukuman.
Ditemui usai menjalani persidangan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri Tipikor Serang pada, Selasa (30/5), Samad merasa bahwa dirinya telah dijadikan tumbal atas kasus yang menjerat dirinya. Sebab menurutnya dalam kasus ini ada pihak-pihak lain yang juga turut terlibat di dalamnya.
Terlebih lagi pada saat itu Samad mengaku bahwa dirinya hanyalah sekretaris pelaksana pengadaan, bukan menjadi pihak pemegang kebijakan. Oleh karenanya, menurut terpidana kasus korupsi itu pihak yang ia maksud harus juga turut diseret ke meja persidangan.
”Bukan saya gak mau dihukum sendiri. Saya bukan pemegang kebijakan, saya juga di pengadaan itu cuman sekretaris, ketuanya ada. Kalau misalkan kepala badan (Opar, red) tidak membayarkan ya saya tidak masalah sih, saya juga gak memaksa. Tapi kepala badan kan membayarkan,” tuturnya.
Kemudian mantan kepala UPTD SAMSAT Malingping itu pun merasa heran sekaligus juga turut mempertanyakan terkait proyek pengadaan SAMSAT di Malingping pada 2016 yang tidak terpakai saat ini.
Menurutnya kasus pengadaan itulah yang seharusnya diusut oleh Aparat Penegak Hukum (APH), bukan kasusnya. Karena menurut Samad, pengadaan yang dilakukannya justru bernilai manfaat karena dapat digunakan.
”Dan kedua, tanah yang kemarin saya beli itu memang saya perjuangkan benar-benar pure akhirnya bisa dibangun, ada manfaatnya lah. Beda dengan pengadaan 2016, Malingping udah ada pengadaan dulu, gak dipakai, gak ada masalah. Aneh. Kalau mau adil mah itu yang diusut mah,” terangnya.
Samad kembali menegaskan bahwa dalam kasus ini, pihak yang seharusnya bertanggung jawab bukan hanya dirinya semata, melainkan pihak-pihak lain yang tergabung ke dalam tim pengadaan lahan seperti PPA hingga PPTK.
”Ya kitakan bekerja tim, harusnya tim juga salah. Di sana ada PPK, ada PA, dan sendiri dia. Terus ada sekretariat PPTK, PPTK, Baladiah sebagai anggota tim pengadaan. Kalau misalkan mau disalahkan ya timlah jangan sendiri. Gak ada sejarahnya Tipikor itu sendiri,” tegas Samad.
Diketahui, tanpa didampingi oleh kuasa hukumnya, Samad menjalani persidangan PK di Pengadilan Negeri (PN) Serang dengan seorang diri.
Dalam persidangan tersebut Samad menjelaskan, alasan ia mengajukan permohonan PK itu lantaran dirinya merasa dirugikan atas putusan hakim yang diterimanya.
Karena Samad mengaku telah mempelajari sejumlah berkas seperti putusan Pengadilan Negeri Tipikor Serang, putusan PK, dan putusan kasasi atas perkara yang menimpanya serta menganalisis dari perkara yang sifatnya sama yakni pengadaan lahan SMKN 7 Tangerang Selatan.
Hasilnya menurut Samad kedua kasus tersebut memiliki sifat yang sama, namun meski begitu, terdapat perbedaan putusan pemidanaan oleh hakim yang mana menurutnya putusan yang ia terima justru jauh lebih berat ketimbang Agus Karsono.
Sebab berdasarkan berkas petikan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Serang yang dimiliki Samad, Agus Karsono hanya menerima putusan pidana selama 4 tahun dengan kerugian negara yang dihasilkan sebesar Rp8,3 miliar. Sementara dirinya menerima putusan hakim dengan pidana selama 6,6 tahun dengan kerugian negara yang dihasilkan sebesar Rp680 juta.
”Karena adanya ketidakadilan dalam memutuskan perkara terhadap saya Yang Mulia,” terangnya.
Namun saat diteliti lebih lanjut atas berkas memori PK, Hakim Ketua menilai, jika terdakwa Agus Karsono kasusnya belum sampai pada tahapan putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah, melainkan masih dalam tahapan kasasi.
Sehingga Hakim Ketua menyayangkan, apabila proses PK terus dilanjutkan maka bukan tidak mungkin nantinya setelah hasil kasasi turun Samad lah yang justru lebih dirugikan.
”Itu semua kan belum inkrah, belum mempunyai kekuatan hukum, belum ada sesuatu yang pasti. Kalau saudara ini tetap saudara ajukan, nanti kalau turun putusan putusan kasasinya. Ibaratnya nanti menjatuhkan pidana yang jauh lebih berat nanti saudara tidak bisa lagi mengajukan PK,” terangnya.
”Jadi kalau saudara tetap masih memproses permohonan saudara, yang nanti kalau putusannya yang saudara jadikan novum itu berbeda, itu malah merugikan saudara,” jelas Hakim Ketua dalam persidangan tersebut.
Meski dijelaskan begitu Samad merasa yakin atas keputusannya itu untuk tetap melanjutkan proses PK atas putusan pidana yang diterimanya itu.
Usai dilakukan berbagai pertimbangan, Hakim Ketua memutuskan bahwa persidangan tersebut akan kembali dilanjutkan dengan agenda mendengarkan tanggapan atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana Samad pada Selasa, 6 Juni 2023 di PN Serang.
”Saudara hadir lagi pada persidangan minggu depan untuk mendengarkan tanggapan permohonan Peninjauan Kembali saudara,” katanya.
Saat BANPOS mengkonfirmasi melalui telepon, ke nomor mantan Kepala Bapenda, Opar Sohari, telepon BANPOS ditolak. Namun, pesan BANPOS dibalas oleh seseorang yang mengaku sebagai istri dari Opar Sohari dan mengatakan jika yang bersangkutan tengah dalam keadaan sakit.
”Waalaikumussalam maaf saya istrinya. Bapak saat ini sedang sakit karena pembuluh darah otak kirinya pecah, dan masih dirawat secara intensif. Terimakasih,” tulis istri Opar Sohari melalui pesan singkat.(MG-01/PBN)
Discussion about this post