“Pers merupakan kepanjangan tangan publik, yang berusaha memenuhi rasa keingintahuan publik. Sementara pers mahasiswa merupakan kepanjangan tangan publik kampus, yaitu mahasiswa, ketika mahasiswa tidak bisa mengakses kebijakan-kebijakan kampus, mereka bisa menggunakan pers mahasiswa,” tandasnya.
Sementara itu, Dosen Komunikasi FISIP Unair, Suko Widodo, menyampaikan tentang perubahan khalayak yang memengaruhi konsumsi media di era digital. Menurutnya, media sosial telah menjadi rujukan utama anak muda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk mengonsumsi berita.
“Mahasiswa membaca berita bukan dengan membuka website media daring, melainkan berdasarkan info di media sosial maupun dari teman-teman mereka. Tak heran jika kemudian, anak-anak muda tidak lagi menjadikan kredibilitas pers sebagai pertimbangan karena mereka lebih fokus pada kredibilitas informasi,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, muncul pula reversed agenda setting. Hal-hal yang ramai dan menjadi trending topik di media sosial akan menjadi berita di media yang kian mengamplifikasi topik tersebut.
“Oleh karena itu, pekerjaan rumah pers saat ini ada tiga. Pertama, mengedukasi publik. Kedua, menguatkan branding pers sebagai sumber kredibel. Ketiga, hijrah digital seutuhnya dengan produk yang customized, serta membangun interaksi dan engagement dengan audiens,” jelasnya.
Pegiat media sosial, Anelies Praramadhani, yang juga berkesempatan menjadi narasumber, menyebutkan bahwa profesinya sebagai seorang content creator tetap membutuhkan tanggung jawab dan kesadaran penuh dalam beretika jurnalistik. Sebagai mantan jurnalis, ia paham betul dengan masalah etika dan tanggung jawab jurnalistik, tak heran jika sebelum membuat dan membagikan konten di media sosial, ia memikirkan betul dampak dan manfaat yang bisa ditimbulkan dari konten-konten tersebut.
“Sebagai content creator, saya tak pernah lupa merujuk pada jurnal maupun sumber-sumber kredibel saat membuat konten,” tandasnya. (MUF)
Discussion about this post