Oleh karena itu, kata Eko, dirinya merekomendasikan tiga hal, yang pertama, skema pemilu serentak dengan lima jenis pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam Pemilu Serentak 2019 mendesak untuk diubah. Skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal merupakan alternatif terbaik yang penting untuk dipertimbangkan.
“Kedua, perubahan skema pemilu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan perbaikan sistem pemilu, yang mencakup isu ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, besaran daerah pemilihan dan sebagainya. Ketiga, Pemilu itu harus diiringi dengan penguatan partisipasi masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi substansial, ini PR-nya,” tegasnya.
Terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Harits Hijrah Wicaksana mengatakan, harusnya jika dirasa bersalah atau harus dikenakan sanksi itu cukuplah KPU saja. Bukan malah berbicara pada penundaan Pemilu.
Menurutnya, kedua hal tersebut berbeda konteks ketika yang dirasa melakukan kesalahan adalah KPU malah yang menjadi sasaran seluruhnya adalah penundaan Pemilu dengan alasan waktu dan sebagainya.
“Saya rasa pemerintah sudah mulai serius dengan kasus ini, salah satunya Menpolhukam yang dimana telah meminta KPU untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi terkait putusan tersebut,” kata Harits saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon, Kamis (9/3).
Harits menjelaskan, jangan sampai penundaan pemilu ini dilakukan hanya karena satu dua hal yang bersifat tidak terlalu subtantif. Ketika merujuk kepada Undang-undang Dasar dan undang-undang sudah jelas bahwa Pemilu harus dilakukan lima tahun sekali sesuai dengan amanat tersebut yang juga telah mengatur masa jabatan Presiden dan lainnya.
“Kalau kita merujuk pada hal tersebut, secara otomatis kita melanggar ketentuan dari Undang-undang Dasar tersebut,” jelasnya.
Ia menerangkan, terkait undang-undang pelaksanaan pemilu, jika memang penundaan Pemilu harus dilakukan, maka yang harus dirubah yaitu mekanismenya melalui perubahan undang-undang.
Discussion about this post