Menurut UU, lanjut dia, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.
“Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” ujarnya.
Menurut Nassir, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. “Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” katanya.
Nassir yang juga Kaprodi Fakultas Hukum Uniba ini pun mengingatkan kalau penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkasnya.
Terpisah, praktisi hukum Raden Elang Yayan Mulyana justru menegaskan bahwa semua pihak harus menghormati putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat. Ia menuturkan bahwa pendapat dari berbagai pihak dan ahli yang menyebut PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara gugatan Partai PRIMA, merupakan pendapat yang keliru. Pasalnya, PN Jakarta Pusat memutus perkara yang dalam pokoknya, berdasarkan pada dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU RI.
“Dasarnya adalah pasal 1365 KUH Perdata. Dengan ketidakprofesionalan KPU, dengan tidak melakukan verifikasi administrasi secara profesional terhadap Partai PRIMA, mengakibatkan Partai PRIMA tidak lolos sebagai partai peserta pemilu, itu yang menjadi kerugiannya. Sehingga keputusan tersebut jelas berpengaruh pada seluruh tahapan Pemilu,” katanya.
Yayan menuturkan bahwa ia yakin jika sebetulnya, Partai PRIMA tidak menargetkan untuk melakukan penundaan Pemilu. Akan tetapi berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan, membuat Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum KPU RI, untuk menghentikan tahapan Pemilu dan mengulang selama lebih dari dua tahun.
Discussion about this post