“Opsi pemindahan Depo Per¬tamina Plumpang, bisa menjadi opsi yang tepat dengan beberapa alasan,” kata Fahmy kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, bila Pemerintah mengambil opsi tersebut, maka direksi Pertamina bisa cepat mengambil keputusan. Berbeda bila opsi yang diambil, mere¬lokasi kawasan penduduk.
“Untuk mengambil keputusan ini akan lebih lama, karena meli¬batkan beberapa pihak. Yaitu Per¬tamina, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan warga,” jelasnya.
Dia menilai, lokasi Depo Per¬tamina Plumpang sudah tidak layak lantaran berada di tengah kawasan padat penduduk.
“Apalagi tidak tersedia buffer water cukup, yang dibutuhkan untuk proses pendinginan pipa. Jadi, saat pipa terbakar bisa ber¬imbas pada rumah penduduk di sekitarnya,” sambungnya.
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman menilai, ongkos merelokasi depo BBM tidak murah. Diperkira¬kannya, akan memakan biaya seki¬tar 300 juta dolar Amerika Serikat (AS), atau setara Rp 4,6 triliun.
“Ini perkiraan biaya yang dibu¬tuhkan untuk membangun fasili¬tas lengkap depo TBBM,” kata Yusri melalui pesan singkat ke¬pada Rakyat Merdeka, kemarin.
Meski demikian, apapun kepu¬tusan Pemerintah, diharapkan ke¬jadian serupa tidak terulang lagi.
Sebab, imbuh Yusri, paling ce¬pat akhir tahun 2026 lahan Pelindo baru bisa digunakan Pertamina Patra Niaga. Maka dikhawatir¬kan masih ada masyarakat yang memilih kembali tinggal di lokasi yang berdekatan dengan depo.
“Ini yang harus dijaga, jangan sampai kembali timbul korban jika fasilitas depo mengalami ke¬bakaran lagi,” tandasnya.(RMID)
Discussion about this post