JAKARTA, BANPOS – Sebelas delegasi pejabat tinggi Republik Kirgizstan dan perwakilan UN Office on Drugs and Crime (UNODC) menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (7/12). Mereka datang untuk melakukan studi banding mengenai pendekatan kompleks dan komprehensif Indonesia dalam penanganan tindak pidana kekerasan ekstrimis dan terorisme.
Kepada Moeldoko, Menteri Kehakiman Kirgizstan Aiaz Baetov mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak hanya membahas tentang hukuman pidana bagi pelaku tindak kekerasan ekstrimis dan terorisme, tapi juga memiliki mekanisme pencegahan dan rehabilitasi. Oleh karenanya, sistem monitoring dan penerapan penahanan bagi pelaku terorisme dan kekerasan ekstremis di Indonesia patut dijadikan percontohan.
“Kami sangat tertarik untuk mempelajari pelibatan instasi-instasi seperti organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh keagamaan dalam penanganan tindak pidana kekerasan ekstrimis dan terorisme di Indonesia. Pengalaman Indonesia adalah pembelajaran yang unik bagi Kirgizstan. Oleh karenanya, kali ini Kirgizstan datang ke Indonesia dengan delegasi yang besar,” kata Aiaz.
Tindak pidana terorisme yang diposisikan sebagai kejahatan luar biasa merupakan ancaman terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan whole of government untuk melawan terorisme, yakni melalui pendidikan di tingkat hulu, sampai penindakan di tingkat hilir.
Moeldoko menegaskan, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, Pemerintah terus memperkuat upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, perluasan sanksi pidana untuk modus baru seperti foreign terrorist fighter (FTF), penguatan kelembagaan, dan perlindungan korban. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
“Di samping berfokus pada penanganan, negara juga hadir untuk para korban dari tindak pidana terorisme. Hal ini antara lain, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi.
Discussion about this post