“Ribuan orang jadi pengangguran, antrean kapal meningkat pesat, waktu bongkar muat jadi lebih lama, kemacetan parah di kawasan Marunda, truk-truk jadi lambat ritasenya sehingga menyebabkan kenaikan yg tinggi pada biaya logistik,” papar pria yang juga merupakan anggota dari Indonesian ShipOwner Association (INSA).
Lebih lanjut, Munif mengaku heran atas keputusan penutupan pelabuhan KCN yang vital bagi hajat hidup banyak orang dan telah menyetorkan pajak ke negara sampai Rp 180 miliar.
Menurutnya, kebijakan ini dilakukan sepihak, tanpa ada kajian menyeluruh dari berbagai pemangku kepentingan dan tentang darimana sumber pencemaran udara berasal.
“Terbukti saat ini sudah hampir lima bulan sejak ditutup (pelabuhan KCN), ternyata pencemaran debu masih terus terjadi di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara,” tutur dia.
“Seharusnya dilakukan kajian yang terperinci dan menyeluruh dulu tentang penyebab pencemaran debu batubara, mengingat bersebelahan dengan Pelabuhan KCN itu ada kawasan Industri yang menghasilkan debu batubara (fly ash-abu terbang), dan pelabuhan-pelabuhan lain yang melakukan pembongkaran batubara,” imbuh Munif.
Dia juga menyampaikan, Penjaspel masih heran lantaran saat ini Pelabuhan KCN belum dibuka kembali padahal dari 32 sanksi yang diberikan hanya 1 sanksi yang belum dipenuhi oleh Pelabuhan KCN, yaitu mengenai pembangunan dinding setinggi 6 meter karena menunggu persetujuan Sudin LH Jakarta Utara dan Dinas LH DKI.(RM.ID)
Discussion about this post