PEREKONOMIAN dunia diprediksi oleh Bank Dunia akan menghadapi ‘musim dingin’ pada 2023 mendatang. Hal itu lantaran adanya perlambatan perekonomian dunia, akibat terjadinya sejumlah hal diantaranya yakni perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, yang membuat terjadinya kenaikan harga minyak dan gas dunia.
Bank Dunia dalam laporannya bertajuk ‘Risk of Global Recession in 2023 Rises Amid Simultaneous Rate Hikes’, disebutkan bahwa tingkat inflasi inti global pada tahun 2023 kemungkinan besar akan berada di angka 5 persen. Sementara pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global hanya akan sebesar 0,5 persen saja imbas dari penyesuaian bunga acuan demi menekan inflasi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada BANPOS mengatakan bahwa dunia saat ini tengah menghadapi triple crisis, yakni krisis ekonomi, krisis lingkungan dan krisis geopolitik. Kombinasi dari tiga krisis tersebut memang menjadi hal yang cukup serius untuk dihadapi.
Bhima mengatakan, krisis ekonomi dapat dilihat dari terjadinya inflasi yang tinggi, krisis pangan dan krisis energi. Kondisi tersebut bahkan bukan hanya membuat banyak negara mengalami inflasi yang tinggi, namun hingga pada stagflasi.
“Stagflasi yaitu kondisi dimana terjadi kenaikan harga-harga barang tapi tidak diimbangi dengan kesempatan kerja dan output dari produksi. Jadi bayangkan harga barang naik, tapi upah minimumnya hanya naik satu persen dan inflasinya hampir 6 persen. Berarti itu ada tanda-tanda stagflasi,” ujar Bhima, Kamis (13/10). Menurutnya, hal itu juga dipengaruhi dengan terganggunya rantai pasok, kenaikan harga BBM dan melonjaknya angka kemiskinan.
Untuk krisis lingkungan, Bhima menuturkan bahwa saat ini sudah banyak negara yang menyadari akan hal tersebut. Pasalnya, frekuensi bencana alam kian hari kian meningkat. Hal itu pun pada akhirnya mempengaruhi perekonomian, lantaran terhambat oleh dampak bencana itu.
Bahkan menurut Bhima, Indonesia dalam melakukan mitigasi bencana akibat dampak dari perubahan iklim saja membutuhkan biaya kurang lebih sebesar Rp5.000 triliun. Namun menurut Bhima, hal itu dapat menjadi peluang positif bagi Indonesia, yakni untuk berpindah dari energi ‘kotor’ menjadi energi bersih dan terbarukan.
Discussion about this post