JAKARTA, BANPOS – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku sudah berumur 108 tahun. KUHP warisan Belanda itu dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat.
Selangkah lagi, Indonesia bakal memiliki KUHP yang baru menggantikan peninggalan kolonial. Pemerintah gencar lakukan sosialisasi.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan, sebetulnya sejak tahun 1963 negara sudah berupaya menciptakan rancangan KUHP untuk menggantikan yang lama.
Namun, baru di tahun ini RKUHP pengganti kolonial Belanda tersebut baru siap disahkan DPR.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, dalam proses pergantian ini, Pemerinrah melibatkan banyak elemen. Mulai dari mahasiswa hingga Organisasi Masyarakat (ormas).
“Tidak lain dan tidak bukan kita melibatkan publik kembali melihat rumusan pasal-pasal yang dianggap krusial,” ungkap Edward, dalam dialog yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, jelang pengesahannya di DPR nanti, banyak pihak yang menolak sebagian pasal dari RKUHP tersebut. Namun Edi-sapaan akrabnya, memastikan Pemerintah dan Komisi III DPR terbuka menerima masukan.
“Masih ada waktu sampai Desember tahun ini. Kalau tahun depan sudah masuk tahun politik,” jelasnya.
Pemerintah dan DPR berupaya menyeragamkan pemahaman soal RKUHP. Karena itu, sosialisasi masih terus dilakukan.
Tahun lalu, sosialisasi sudah dilakukan 12 kali di 12 kota. Tapi, hal itu dirasa belum cukup. Presiden Jokowi pun, dalam rapat terbatas 2 Agustus lalu, meminta jajarannya memasifkan kembali sosialisasi tersebut.
“Tidak hanya tugas dari Kemenkumham saja tetapi dari kementerian dan lembaga terkait seperti Kemenko Polhukam, Kemenkominfo, Kemenag, BIN, Polri hingga Kejaksaan, dan juga Kepala Staf Presiden,” paparnya.
Tahun ini, Pemerintah sudah melakukan sosialisasi di 11 kota. Pemerintah juga menampung masukan dari masyarakat. Ibarat kata pepatah, sambil menyelam, minum air.
“Kamu melakukan dialog publik, melibatkan masyarakat dalam pembentukan RUU KUHP. Tidak hanya 11 kota semata, tetapi masing-masing kementerian dan lembaga yang sudah ditugaskan melakukan sosialisasi dan dialog publik boleh mengadakan secara terpisah,” terang Edi.
Discussion about this post