Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, amandemen konstitusi di masa lalu selain menghilangkan Utusan Golongan juga menghilangkan Haluan Negara. Akibatnya, fungsi GBHN digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan.
“Misalnya, kecenderungan eksekutif sentris dan adanya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Selain itu, karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka berpotensi memunculkan visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan. Ditambah adanya potensi ketidakselarasan pembangunan antara RPJMN dengan perencanaan pembangunan daerah (RPJMD), mengingat visi dan misi kepala daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) harus mempunyai legal standing yang kuat, namun sekaligus tidak kaku. Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR, yang secara hirarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Untuk memberikan hak konstitusional dan mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN, maka idealnya diperlukan amandemen terbatas. Namun, mengingat dinamika politik, saat ini sulit untuk direalisasikan, sehingga yang dapat diupayakan untuk menghadirkan PPHN adalah melalui Konvensi Ketatanegaraan.
“Penerapan Konvensi Ketatanegaraan adalah hal yang lazim dalam kehidupan negara-negara demokratis. Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku. Misalnya penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR, yang tidak diatur oleh konstitusi dan tidak diamanatkan oleh undang-undang, namun mengingat urgensinya dapat diterima, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan. Kuncinya adalah adanya konsensus dan komitmen bersama,” terang Bamsoet.
Discussion about this post