“Sekalipun jamaah memiliki latar belakang berbeda, tapi semuanya bisa masuk dalam kategori muttaqin, dan karenanya layak untuk memakmurkan masjid,” sebutnya.
Hidayat mencontohkan, Rasulullah bukan hanya mengukhuwahkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, tapi juga antara kaum Muhajirin dengan Muhajirin, dan kaum Anshar dengan Anshar, serta kaum Muhajirin dan kaum Anshar, tanpa menghilangkan kekhasan masing-masing kaum.
Islam, tegas Hidayat, tidak menghilangkan dan menegasikan kekhasan masing-masing kaum. Bahkan Islam sangat menghormati kekhasan masing-masing kaum. Prinsip yang sama seperti Bhinneka Tunggal Ika. Kebhinnekaan tetap dihormati, sedangkan Ika adalah semua hamba-hamba Allah.
Maka, lanjutnya, semangat berukhuwah ini sekaligus semangat menghormati keragaman yang ada, menjadi basis rahmatan lil alaminnya Islam, yang karenanya pasti jauh dari sikap negatif seperti ekstremisme, radikalisme. Masing-masing pihak diapresiasi dan mendapat posisi, peran, dan penghormatan.
Bukan mempertajam keragaman, tetapi keragaman sebagai sarana fastabiqul khairat (berlomba mewujudkan berbagai kebaikan). _Kita menghormati kekhasan masing-masing sekaligus menghadirkan fastabiqul khairat,” tambahnya.
Hidayat berharap, nilai-nilai yang terkandung dalam surah At Taubah ayat 18 tentang hakikat siapa yang memakmurkan masjid dapat menghadirkan dampak dari hijrah untuk makmurnya Masjid, kemudian menghadirkan dampak progressif untuk pengelolaan masjid yang menjadi basis hadirnya komunitas Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin.
Dengan semangat syukuran 108 tahun masjid raya Al Muttaqun, nilai-nilai hijrah diimplementasikan dalam pengelolaan dan manajemen masjid yang lebih baik sehingga dapat melipatgandakan manfaat untuk jamaah, melipatgandakan jumlah jamaah, serta menghadirkan masyarakat yang lebih guyub, rukun, shaleh, rahmatan lil alamin, dan menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika.
“Untuk berkontribusi bagi Indonesia yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur,” pungkasnya.(RMID)
Discussion about this post