Pihaknya mengaku keberatan atas pemberhentian kliennya sebagai Ketua BEM Untirta tahun 2021. Dimana dalam pemberhentian tersebut juga dilakukan atas dasar paksaan penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van Omstandingheden) dan merupakan (Character Assassination) untuk menggulingkan sebagai Ketua BEM dengan cara-cara tidak demokratis (keji) dengan merekayasa hukum.
“Selanjutnya, dengan diterbitkanya surat Keputusan Rektor tersebut telah jelas merugikan Klien kami dengan menunggu sanksi berikutnya, menunggu keputusan akhir pengadilan. Artinya pihak Universitas Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan abuse of power, menyalahgunakan kewenangan dengan cara memberhentikan Klien kami, sehingga telah mendahului keputusan Undang- Undang dan melanggar asas praduga tidak bersalah presumption of innocene pasal 17 j0 18 UU 39 tahun 1999,” tuturnya.
Pasal 17 berisi ‘setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduanm dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar’. Pasal 18 ‘setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan’.
“Oleh karena alasan -alasan keberatan dan kerugian yang akan dialami akibat terbitnya Surat Keputusan Rektor, dengan ini Tim Advokasi Presma Untirta meminta kepada Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa untuk mencabut Surat Keputusan Rektor dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tandasnya. (MUF/ENK)
Discussion about this post