Dari keterangan pegawai PT HSP tersebut penyidik mendapati informasi bahwa terdapat aktivitas penjualan hasil tambang. “Yang dimiliki hanya izin usaha pertambangan (IUP), padahal menurut keterangan saksi
melakukan penjualan. Tidak boleh melakukan penjualan, harus ada izin (menjual hasil tambang-red),” kata Wawan.
Saksi lain, Direktur PT SPM Ahmad Fauzi mengatakan pihaknya melakukan kerjasama dengan PT HSP untuk melakukan pertambangan. Kerjasama tersebut dimulai pada 2015. Namun pada 2017 sempat terhenti karena PT HSP tidak membayar royalti. “Kita pemilik lahan, dia
(terdakwa-red) pemilik alat berat,” kata Ahmad.
Kerjasama antara PT HSP dan PT SPM tersebut kata Ahmad kemudian dilanjutkan pada 2019. Saat melakukan pertambangan tersebut, izin pertambangan yang digunakan milik PT SPM. “Izin awalnya PT Sani bukan Harmoni Sulung Perkasa,” kata Ahmad.
Meski telah putus kontrak, Ardani diduga masih melakukan penjualan batu split pada konsumen. Hal tersebut dibuktikan dengan tagihan atas nama PT SPM. “Kita putus kontrak (dengan PT HSP-red) karena tagihan tidak dibayarkan,” ucap Ahmad.
Menanggapi keterangan kedua saksi tersebut, terlapor kasus dugaan penggelapan dalam jabatan atas pemanfaatan aset PT HSP dengan Laporan Polisi Nomor: 334/IX/Res.1.11/SPKT/Banten tersebut tidak menyatakan keberatan. “Keterangannya benar,” tutur Ardani. (AZM)
Discussion about this post