Bila “pokoknya, mau benar atau salah, kalau seagama, kita bela”, atau “pokoknya, bila dilakukan oleh orang yang tidak seagama, jangankan yang salah, yang benarnya saja kita hantam”, itu bisa ambyar.
Itulah kenapa kita kerap dihadapkan pada satu situasi, dimana ada orang yang dianggap lebih membela orang beda agama, dibanding pembelaan bagi yang seagama, lalu mengerenyitkan dahi, seperti hampir habis pikir.
Lalu muncullah anggapan dan stigma nyinyir pada kawan seiman, dan anggapan memuja pada orang beda iman. Padahal, bila kita sportif, gentleman, dan keberpihakan pada kebenaran, sejatinya perbedaan lintas Iman bukan jadi hambatan.
Gejala itu terjadi akibat konsepsi “pembelaan” dimaknai sepanjang masih dekat, sahabat, kerabat, segolongan, dan seiman. Pembelaan bukan atas dasar kebenaran.
Saya, kerap menyampaikan pembelaan atas orang yang seagama, karena menurut saya, dia benar. Saya, kadang juga memberikan pembelaan atas orang yang beda agama, karena menurut saya, dia benar. Jadi, pembelaan yang saya lakukan bukan karena faktor kesamaan iman, tapi karena kebenaran.
“Qulil haq walau kaana murran! Kebenaran itu pahit, Jenderal! Walau demikian, terpaksa aku sampaikan. Demi kebaikan”.
Wallahualam..
Discussion about this post