SERANG, BANPOS – Kementerian Pertanian (Kementan) mengundang mahasiswa pertanian seluruh Indonesia, untuk menghadiri kegiatan sosialisasi RUU Karantina Hewan, Ikan dan Tanamam (KHIT) serta RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), yang disahkan DPR-RI tepat pada Hari Tani Nasional (HTN) 24 September yang lalu.
Meskipun tidak leluasa dalam berdiskusi terkait dengan sosialisasi RUU tersebut, karena keterbatasan waktu, mahasiswa pertanian tetap menyampaikan protesnya terkait beberapa pasal, yang cenderung tidak pro terhadap rakyat tani.
Ketua BEM Faperta Untirta, M. Irfan Oktiyan, saat ditemui di Untirta menuturkan bahwa pada pertemuan itu, ia berpendapat pemerintah sangat lambat melibatkan mahasiswa dan masyarakat, untuk ikut serta berpendapat dalam perumusan RUU tersebut.
“Padahal pelibatan mahasiswa dan masyarakat bertujuan agar dalam RUU tersebut, tidak terkandung hal-hal yang merugikan Masyarakat Tani,” katanya kepada BANPOS, Jumat (27/9).
Selain sosialisasi RUU SBPB dan RUU KHIT, lanjut Irfan, Menteri Pertanian pun mengajak mahasiswa pertanian seluruh Indonesia, untuk berdialog menyampaikan aspirasi masyarakat tani di setiap daerahnya masing-masing.
“Dalam RUU SBPB terdapat pasal yang menegaskan dalam perlindungan lahan pertanian, namun di daerah terkhusus di Banten justru Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) masih belum jelas lokasi lahan yang dilindunginya. Artinya, terdapat ketidaksinkronan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan peraturan,” katanya.
Kendati demikian, ia mengapresiasi tindakan Kementan yang berupaya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat melalui mahasiswa pertanian.
“Namun harapan saya kedepannya, Kementan harus bisa menyediakan waktu khusus yang leluasa untuk mengajak Mahasiswa Pertanian Indonesia berdiskusi dengan Kementan, terkait regulasi Pertanian agar terciptanya regulasi yang pro terhadap masyarakat tani,” lanjutnya.
Mahasiswa Pertanian Untirta, Arip, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menyampaikan, RUU SBPB banyak pasal yang mengatur pidana untuk petani dan pelaku usaha. Sementara, untuk pemerintah hanya terdapat satu pasal sanksi saja.
“Ini yang kami kritisi. Pun ada juga yang aneh dalam RUU SBPB ini, yaitu pada pasal 109 yang berbunyi setiap orang yang mengalihfungsikan lahan ditetapkan sebagai lahan budidaya pertanian, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 5 miliar,” katanya.
Sedangkan dalam UU no 41 tahun 2009 pasal 73, ujar Arip lagi, apa bila pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan pertanian berkelanjutan, dipidana dengan pidana penjara satu sampai 5 tahun, dan denda Rp1 miliar hingga Rp5 miliar.
“Namun dalam RUU SBPB ini tidak diatur untuk pejabat pemerintah terkena pidana. Padahal di UU no 41 tahun 2009 itu jelas-jelas diatur,” ucapnya.
Arip pun menyampaikan bahwa program Kementan perihal Banten menjadi lumbung jagung Indonesia, tidak ada pengawalan sampai saat ini. Sebab hasil jagung yang ditanam tidak mendapatkan pasar yang baik, sehingga banyak tanaman jagung yang terbengkalai.
“Beberapa aspirasi yang kami sampaikan langsung kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Pertanian, masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sehingga kami harus terus mengawal segala kebijakan yang ada di Pemerintahan Daerah untuk memperjuangkan kesejahteraan petani,” tandasnya. (DZH)
Discussion about this post