JAKARTA, BANPOS – Jumlah BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) saat ini sekitar 1.057. Dengan total aset Rp 1.170 triliun. Berbagai macam jenis usaha yang dilakukan BUMD. Sebagian besar bergerak di bidang: perbankan, penyediaan air minum dan pertambangan. Secara umum, tujuan pendirian BUMD adalah turut serta dalam pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. BUMD juga diharapkan dapat memberikan kontribusi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kita mencoba “meneropong” kiprah BUMD berdasarkan data dari berbagai sumber.
Bank Pembangunan Daerah
Berita bagus datang dari Jakarta. Bank Jakarta yang dulu bernama Bank DKI, menurut Gubernur Jakarta Pramono Anung (seperti dimuat media 10 Juni 2025), sedang dipersiapkan untuk IPO alias berkiprah di bursa. Ini sebuah langkah strategis, bukan hanya akan memungkinkan masyarakat memiliki saham Bank Jakarta, tetapi juga akan meningkatkan transparansi dalam pengelolaannya. Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan), jumlah Bank Daerah 27 terdiri dari 24 beroperasi secara konvensional dan 3 beroperasi sebagai Bank Syariah. Beberapa Bank Daerah ada juga yang menjalin hubungan “strategis” dengan Kelompok Usaha Besar seperti Bank SulutGo (24,82 persen sahamnya dimiliki oleh Kelompok Usaha Tertentu); Bank Sulteng (26 persen sahamnya dimiliki oleh Kelompok Usaha- yang juga memiliki saham di Bank SulutGo. Upaya “strategis” ini haruslah memberi manfaat timbal balik bagi Bank Daerah dan Kelompok Usaha Swasta secara patut dan wajar dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka konsolidasi usaha perbankan dikenal dengan apa yang disebut dengan KUB (Kelompok Usaha Bank). Sejauh ini, Kelompok Usaha Bank telah mulai berjalan: Bank BJB menjalin “kerja sama” dengan Bank Bengkulu, Bank Jambi, Bank NTT dan Bank Sultra. Bank Jatim akan “kerja sama” dengan Bank NTB Syariah, Bank Lampung dan Bank Banten. Sedangkan Bank Jakarta dengan Bank Maluku Utara. Konsolidasi ini diharapkan dapat meningkatkan besaran modal Bank yang “dibina”. OJK mensyaratkan setiap Bank Umum yang beroperasi minimal modal disetor Rp 10 triliun harus terpenuhi. Realitas konsolidasi ini menunjukkan secara eksplisit beberapa Bank Daerah memang tidak dalam keadaan “baik-baik” saja. Itu makanya dilakukan konsolidasi. Berhentinya 3 Direktur Utama Bank Daerah sekitar awal 2025 karena tersangkut berbagai masalah: pemberian fasilitas kredit “jumbo” kepada perusahaan tekstil yang berdomisili di Solo, dan pengadaan iklan ratusan miliar rupiah. Bahkan pada level bawah, ada Bank Daerah yang dibobol oleh karyawan sendiri dengan jalan: mengambil langsung uang dari bankas senilai Rp 2,5 miliar. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Bank Milik Pemerintah Daerah belum sepenuhnya dikelola secara profesional.
Discussion about this post