SERANG, BANPOS – Salah satu sekolah tingkat SMA/SMK di Provinsi Banten yang berstatus sekolah inklusi, menolak salah satu calon peserta didik berkebutuhan khusus atau disabilitas yang mendaftar.
Hal itu lantaran nilai tes psikologis dari calon peserta didik itu berada di bawah angka 80. Peserta tersebut merupakan anak berkebutuhan khusus tunagrahita, dan merupakan atlet lari.
Ketua Komunitas Area Disabilitas (Koreda) Banten, Nur Ahdi Asmara, mengatakan bahwa hal itu telah bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif dan nilai-nilai keadilan sosial.
“Ini bukan soal angka. Pendidikan inklusif dibangun atas dasar penghormatan terhadap keberagaman dan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Menolak siswa disabilitas hanya karena skor psikologisnya di bawah 80 jelas merupakan bentuk diskriminasi yang sistemik,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Jumat (20/6).
Menurutnya, konsep sekolah inklusi seharusnya membuka ruang seluas-luasnya bagi anak-anak disabilitas untuk tumbuh dan berkembang, sesuai potensi mereka.
E-Paper BANPOS Terbaru
Kebijakan internal yang mensyaratkan angka tertentu pada tes psikologi sebagai dasar penerimaan, apalagi jika diberlakukan kaku, telah melukai semangat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
“Kami sangat menyayangkan jika sekolah-sekolah yang menyandang predikat inklusif justru menerapkan praktik eksklusif. Apa gunanya label ‘inklusi’ jika ternyata tidak memberi ruang kepada mereka yang seharusnya menjadi subjek utama dari inklusi itu sendiri?” tambahnya.
Nur Ahdi Asmara juga meminta Dinas Pendidikan Provinsi Banten untuk turun tangan dan mengevaluasi kebijakan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di sekolah-sekolah inklusi, agar benar-benar sesuai dengan prinsip nondiskriminatif dan menjunjung hak-hak anak disabilitas.
“Kami di Koreda Banten siap bersinergi dengan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun anak disabilitas yang tertinggal dalam mengakses pendidikan. Sudah saatnya kita bergerak dari sekadar slogan menjadi praktik nyata inklusivitas,” tandasnya.
Discussion about this post