SERANG, BANPOS – Wakil Walikota Serang, Nur Agis Aulia, mendapat kritik lantaran adanya poster promosi Jawara Farm di media sosial, yang menempelkan foto dan nama dirinya sebagai Co-Founder.
Hal tersebut memicu sorotan dan kritik dari kalangan akademisi serta pemerhati kebijakan publik.
Menurut pengamat kebijakan publik yang juga Akademisi di Banten, Malik Fatoni, keterlibatan pejabat publik dalam kepemimpinan perusahaan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menekankan pentingnya prinsip tidak adanya konflik kepentingan,” jelas Malik kepada BANPOS, Rabu (4/6).
Ia menambahkan, posisi sebagai CEO aktif atau Co-founder yang menjalankan operasional langsung dapat memunculkan dualisme loyalitas. Terlebih jika perusahaan yang dimaksud berpotensi berinteraksi atau bekerja sama dengan pemerintah daerah.
E-Paper BANPOS Terbaru
“Kalau perusahaan itu memperoleh keuntungan dari proyek pemerintah, jelas itu menyalahi prinsip integritas. Tapi meskipun tidak ada keuntungan langsung dari pemerintah, publik bisa saja menilai ada potensi pengaruh kebijakan yang diarahkan demi kepentingan pribadi. Ini yang harus dicegah,” tegasnya.
Di sisi lain, terdapat pula aturan pada UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, tepatnya pada pasal 76 ayat 1 huruf c yang menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilarang menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik negara maupun swasta, serta menjadi pengurus yayasan.
“Jika memang terbukti benar masih menjadi pengurus, maka Wakil Walikota Serang dapat dikenakan hukuman pemberhentian selama tiga bulan, sebagaimana pasal 77 ayat 1 UU Pemda,” terangnya.
Dari sisi etika pemerintahan, akademisi tersebut menilai sebaiknya pejabat publik memisahkan secara tegas peran publik dan peran bisnis. Jika memang masih menjabat, maka sebaiknya tidak aktif dalam manajemen operasional perusahaan.
“Seyogianya manajemen harian dialihkan kepada pihak profesional atau independen, misalnya CEO dari kalangan profesional. Selain itu, perlu transparansi, apakah perusahaan tersebut masih aktif, dan apakah ada kerja sama dengan pemerintah daerah. Semua ini untuk menjaga kepercayaan publik,” imbuhnya.