Oleh: Fathia Puan Luthfia Ariffa – Mahasiswa S2 Universitas Pamulang, Prodi Manajemen Pendidikan
Pengedaran antibiotik tanpa disertakan resep dokter di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menunjukkan kurangnya pengawasan dan kesadaran tentang efek penyalahgunaan antibiotik. Kasus ini tidak hanya menunjukkan aturan kesehatan yang diabaikan, tetapi juga menunjukkan bahaya praktik yang tidak bertanggung jawab bagi kesehatan masyarakat.
Dampak Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep
Untuk mengobati infeksi bakteri, antibiotik memerlukan instruksi medis. Menggunakan antibiotik tanpa indikasi yang jelas tidak hanya berisiko gagal mengobati infeksi, tetapi juga dapat memperburuk kesehatan pasien dengan menyebabkan resistensi antibiotik. Fenomena resistensi ini menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik yang lebih kuat daripada sebelumnya. Oleh karena itu, pengobatan penyakit bakteri menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan kadang-kadang tidak efektif.
Studi dari Kementerian Kesehatan Indonesia (Survei Kesehatan Nasional 2023) menunjukkan bahwa 41 persen antibiotik oral di Indonesia diperoleh tanpa resep dokter. Jawa Timur sendiri memiliki angka lebih tinggi dengan sekitar 50 persen antibiotik yang diperoleh tanpa resep, yang mengindikasikan lemahnya kontrol dan pengawasan dalam distribusi obat-obatan.
Minimnya Penegakan Hukum dan Pelanggaran Fungsi Tenaga Kesehatan
Kasus di Jombang menunjukkan bahwa tenaga kesehatan tidak mematuhi peraturan distribusi antibiotik. Perawat dan bidan yang tidak memiliki otoritas untuk meresepkan antibiotik sering kali melanggar tugas pokok dan fungsi mereka, yang dikenal sebagai tupoksi. Kewajiban profesional kesehatan untuk menjaga keselamatan pasien bertentangan dengan tindakan ini. Seorang dokter di Jombang mengatakan bahwa tenaga medis non-dokter sering memberikan antibiotik tanpa indikasi medis. Pasokan antibiotik di apotek yang seharusnya diawasi ketat membuat praktik ini semakin marak. Antibiotik dapat dibeli tanpa resep di beberapa apotek. .
Discussion about this post