MAKASSAR, BANPOS – Kebijakan Menteri Hukum dan HAM Yasona H. Laoly kembali menuai kontroversi.
Niatnya untuk memberikan keringanan kepada para napi, terutama napi koruptor dan bandar narkotika, dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan, dianggap tidak patut.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah se-Indonesia (Imadiklus), Ismail Mahmud, menyatakan menolak terbitnya revisi PP tersebut jika masih memasukkan keringanan bagi koruptor.
“Melihat wacana dari Menteri Hukum dan HAM untuk membebaskan Narapidana Koruptor menjadi tidak wajar bagi kami, sebab jika dilihat dari angka Narapidana Koruptor hanya mencapai 4500, atau dengan kata lain hanya 1,8 persen dari jumlah narapidana yang ada. Selain itu, tempat para narapidana koruptor berbeda dengan narapidana kasus lainnya,” jelas Ismail melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu (5/4).
Menurutnya, dalam beberapa kali sidak yang dilakukan sebelumnya juga membuktikan bahwa narapidana koruptor mendapatkan tempat yang mewah dibandingkan dengan yang lainnya, seperti adanya perlengkapan fasilitas mandi dan alat olahraga yang baik.
“Kami mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menolak wacana Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 untuk membebaskan Narapidana Koruptor. Kami tidak ingin situasi virus Korona dijadikan alasan untuk pemerintah membebaskan para narapidana koruptor,” tegas Ismail.
Namun disisi lain, ia menyepakati perlu adanya pembebasan napi lain yang tidak terkait dengan korupsi. Hal ini dalam rangka agar wabah Virus Corona tidak terjadi di Lembaga Permasyarakatan (lapas).
“Hal tersebut memang bisa dibenarkan dengan alasan kemanusiaan. Sebab terdapat hampir 450 ribu narapidana yang ada di Indonesia. Jumlah yang besar tersebut berpotensi menyebarkan virus korona di lapas, dalam kapasitas lapas yang memang tidak wajar,” tandasnya.(DZH/AZM)
Discussion about this post